Malut Diusut Makin Kusut

Konflik politik Maluku Utara akibat pemilihan gubenur (pilgub) memang sudah menjadi bola panas yang liar menggelinding kemana-mana. Dan ini adalah konflik pilgub terlama di Indonesia. Sudah sejak bulan November 2007 sengketa ini tidak juga mengarah pada solusi positif.Carut marut pilgub ini sebenarnya sudah bermula sejak dini, yakni ketika pencetakan surat suara tidak menggunakan apa yang disebut security printing. Saat Panitia Pengawas Pemilihan Umum Daerah (Panwasda) sudah menyalak dengan keganjilan ini, muncul masalah baru yang kemudian menjadi berlarut-larut.

Masalah itu adalah berubah-ubahnya jadwal kampanye yang ditetapkan KPUD Provinsi Maluku Utara yang ketuai oleh Rahmi Husein. Tercatat ada empat kali perubahan jadwal kampanye, yakni tanggal 8 Oktober 2008, kemudian maju menjadi 17 Oktober 2008, lalu mundur menjadi tanggal 5 Oktober 2008. Terakhir, jadwal kampanye ditetapkan maju lagi menjadi tanggal 17 Oktober 2008. Namun, bagi peserta pilgub yang telah melaksanakan kampanye sejak tanggal 5 Oktober 2008, hal tersebut tidak dianggap sebagai tindakan pelanggaran.

Alhasil masing-masing peserta jalan sendiri-sendiri dalam melaksanakan kampanye.

Ketika kampanye masih menjadi persoalan, muncul masalah baru, yakni tidak dilaksanakannya penyampaian visi dan misi para kandidat gubernur di DPRD Provinsi Maluku Utara. Tidak ada alasan yang jelas mengenai hal ini. Padahal, penyampaian visi dan misi sudah diisyaratkan dalam Undang-Undang Nomr 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 66 ayat 3 (f).

Usai hari pencoblosan, masalah lagi-lagi muncul. Dalam rapat pleno KPU Provinsi tanggal 14 November 2007, rekapitulasi suara dari Kabupaten Halmahera Barat ditolak oleh KPU Provinsi Maluku Utara. Hal ini menimbulkan protes dari Panwasda dan ketiga kandidat gubernur dan wakil gubernur selain Thaib Armaiyn-Gani Kasuba, yakni Anthoni Charles-Muhammad Amin, Abdul Gafur-Abd Rahim Fabanyo, dan Irvan Eddyson-Ali Achmad. Rapat pun tidak menghasilkan apa-apa.

Namun, dalam rapat pleno tanggal 16 November 2007, KPU Provinsi membuat sendiri rekapitulasi dan penghitungan suara dari Kabupaten Halmahera Barat. Lagi-lagi, Panwasda dan ketiga kandidat gubernur selain Thaib Armaiyn-Gani Kasuba protes. Dan kembali rapat pun mengalami kebuntuan.

Keesokan harinya, dalam keadaan masih tidak menentu, KPU Provinsi memenangkan pasangan Thaib Armaiyn-Gani Kasuba sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara.

Melihat ini, KPU Pusat bereaksi. Dengan alasan tidak independen dan tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik, KPU Pusat langsung menonaktifkan Rahmi Husein dari jabatan Ketua KPU Provinsi Maluku Utara. Tak hanya itu, KPU Pusat juga melakukan pengambilalihan kewenangan KPU Provinsi Maluku Utara dengan melaksanakan rapat pleno.

Hasilnya, KPU Pusat memenangkan pasangan Abdul Gafur-Abd Rahim Fabanyo sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara.

Pasangan Thaib Armaiyn-Gani Kasuba yang sudah dimenangkan KPU Provinsi tidak terima. Mereka menggugat KPU Pusat ke MA.

Kian Tak Karuan
MA pun kemudian mengeluarkan keputusan yang “netral”. Namun meskipun netral, di titik inilah kekisruhan pilgub Maluku Utara kian menghebat.

Di satu sisi, MA membatalkan keputusan KPU Pusat yang sudah memenangkan Abdul Gafur-Abd Rahim Fabanyo sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, sekaligus membatalkan pengambilalihan kewenangan KPU Pusat atas KPU Provinsi.

Di sisi lain, MA juga membatalkan keputusan KPU Provinsi yang sudah memenangkan Thaib Armaiyn-Gani Kasuba sebaga Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara. Selain itu, MA juga memerintahkan diadakannya penghitungan ulang di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat yang dipermasalahkan oleh KPU Provinsi, yakni kecamatan Jailolo, Kecamatan Sahu Timur, dan Kecamatan Ibu Selatan.

KPU kecewa dengan keputusan MA. KPU merasa kewenangan penyelenggaraan pemilu sudah dilucuti. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu pasal 25 (c), KPU memang berwenang untuk mengendalikan seluruh tahapan pemilu.

Tapi KPU punya cara lain. Pada tanggal 30 Januari 2008, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu pasal 20 ayat 2 (b), Rahmi Husein yang sudah dinonaktifkan sebagai Ketua KPU Provinsi, diberhentikan oleh KPU. Alasannya, Rahmi sudah melanggar sumpah jabatan dan melanggar kode etik KPU.

Namun ternyata Rahmi tidak terima pemberhentian dirinya. Pada tanggal 11 Februari 2008, Rahmi tetap melaksanakan perintah MA untuk menghitung ulang suara di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat. Hasilnya sama, Thaib Armaiyn dan Gani Kasuba keluar sebagai pemenang pilgub. Penghitungan ini sendiri dilakukan di Jakarta dengan disaksikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Maluku Utara.

Gerakan rahmi cukup cepat. Keesokan harinya, tanggal 12 Februari 2008, berita acara penetapan pasangan calon terpilih ini langsung dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tanpa melalui DPRD.

Di sini, Rahmi tidak memedulikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 109 ayat 3 yang menyatakan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD Provinsi.

Melihat kecepatan Rahmi, KPU Pusat mengangkat Muchlis Tapi Tapi sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPU Provinsi Maluku Utara. Pengangkatan ini ada di hari yang sama ketika Rahmi melaporkan pasangan terpilih kepada Mendagri.

Selanjutnya, pada tanggal 20 Februari 2008, Plt Ketua KPU Provinsi Maluku Utara Muchlis Tapi Tapi melaksanakan perintah MA untuk melakukan penghitungan ulang di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat. Muchlis juga merekap seluruh suara di Maluku Utara. Hasilnya sama seperti terdahulu, dimana pasangan Abdul Gafur-Abd Rahim Fabanyo keluar sebagai pemenang pilgub. Penghitungan ini dilakukan di Ternate dengan disaksikan oleh Panwasda, DPRD, KPU Pusat, dan KPU Kabupaten/Kota se Maluku Utara beserta saksi-saksi dari kandidat lain selain Thaib Armayn dan Gani Kasuba.

Pada hari itu juga, Plt KPU Provinsi Muchlis Tapi Tapi melaporkan hasil penghitungannya kepada DPRD Provinsi. Dan DPRD Provinsi pun mengesahkannya, seraya langsung memberikan surat rekomendasi pasangan Abdul Gafur-Abd Rahim Fabanyo sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih kepada Mendagri.

Akan tetapi, beberapa hari kemudian, muncul surat rekomendasi kedua yang juga ditandatangani oleh Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara, Ali Syamsi. Berbeda dengan yang pertama, surat kedua ini merekomendasikan pasangan Thaib Armaiyn-Gani Kasuba sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Wakil Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara Syaiful Bahri Ruray mengaku tidak tahu menahu atas keluarnya surat rekomendasi kedua ini. Dan saat hendak dikonfirmasi, Ali Syamsi menghilang. Tidak saja dari DPRD Provinsi, tetapi juga dari keluarganya.

Meski demikian, apapun prosesnya, pada kenyataannya Mendagri telah menerima dua rekomendasi gubernur dan wakil gubernur terpilih. Tentu saja ini membingungkan. Karena tidak sesuai Undang-Undang yang mensyaratkan satu rekomendasi, Mendagri pun meminta fatwa MA. Dan MA menilai, penghitungan yang dilakukan Rahmi sesuai prosedur dan yang dilakukan Muchlis Tapi Tapi tidak sesuai prosedur.

Dengan alasan tidak bisa menentukan gubernur terpilih, Mendagri pun mengembalikan kedua rekomendasi tersebut ke DPRD Provinsi untuk diselesaikan.

Akan tetapi, DPRD Provinsi tidak mampu menyelesaikan persoalan. DPRD Provinsi sendiri terbelah ke dalam dua kubu, yakni antara pro Thaib dan pro Gafur. Dan ekskalasi aksi massa kedua kandidat pun kian menghebat. Kerusuhan dan bom molotov kerap dapat dijumpai di jalanan Ternate.

Bagi mereka yang pro Gafur, sebagaimana yang diutarakan oleh Muchlis Tapi Tapi, prosedur yang harus dijalankan adalah prosedur internal KPU, dan bukan prosedur MA. Sebab, penyelenggara pemilu adalah KPU, bukan MA.

Namun bagi pendukung Thaib, Fatwa MA yang menyatakan penghitungan Rahmi sesuai prosedur semestinya mengikutsertakan siapa pemenang pilgub. Artinya, ketika MA mengatakan Rahmi sesuai prosedur, maka hasil penghitungan Rahmi yang menetapkan Thaib Armaiyn dan Gani Kasuba sebagai pemenang pilgub, dengan sendirinya menjadi sah.

Ditengah kebuntuan ini, setelah melakukan lobi dengan pemerintah pusat, anggota DPRD Provinsi pro Gafur pun melaksanakan Paripurna di Gedung DPRD Provinsi Maluku Utara. Ini merupakan respon atas pengembalian rekomendasi oleh Mendagri. Dalam paripurna tersebut, DPRD Provinsi menetapkan pemenang pilgub adalah seperti dalam rekomendasi pertama, yakni pasangan Abdul Gafur-Abd Rahim Fabanyo.

Namun di hari yang sama, sore harinya, anggota DPRD Provinsi pro Thaib, yang dipimpin oleh Ketua DPRD Ali Syamsi – yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama menghilang – juga menggelar rapat di Gedung DPRD Provinsi Maluku Utara. Isinya menyatakan bahwa paripurna yang dilaksanakan pagi tadi adalah ilegal.

Jika hendak mencari siapa yang salah, rasanya kita bisa mengalamatkannya pada keputusan MA. Sebab, MA-lah yang membatalkan upaya (kewenangan) KPU Pusat dalam mengendalikan pemilu. Namun bola sudah bergulir jauh. Apalagi Rahmi Husein, yang notebene sudah diberhentikan dari jabatan Ketua KPU Provinsi Maluku Utara, juga sudah dinilai MA sebagai pelaku penghitungan ulang yang prosedural.

Sikap pemerintah yang mengembalikan surat rekomendasi ke DPRD Provinsi pun sebenarnya dapat dipahami. Logika pemerintah adalah birokratik, dimana ketika gubernur dan wakil gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD Provinsi berdasarkan penghitungan KPU Provinsi, maka pengembalian usulannya pun haruslah ke DPRD Provinsi juga. Selain itu, ini merupakan domain pemilihan langsung rakyat. Tidak ada satupun lembaga, termasuk pemerintah pusat, yang berhak menetapkan siapa gubernur Maluku Utara selain rakyat Maluku Utara sendiri.

Jika sudah begini, bagaimana kekuatan legitimasi dari siapapun yang terpilih nantinya?

TM. Dhani Iqbal

Mei 2008

One thought on “Malut Diusut Makin Kusut

  1. Tau nih..
    Kenapa memutuskan siapa Gubernur aja susah bgt.
    Kemana perginya pemimpin tertinggi negara?

Leave a comment