Tatanan Sosial di Balik Masjid Melayu

Kalau ada orang meminta-minta di tengah jalan untuk membangun sebuah masjid, itu adalah penanda bahwa wilayah tersebut sedang tidak berada dalam kekuasaan Islam. Tidak ada negara Islam dimana masyarakatnya meletakkan jala bagai hendak menangkap ikan dan berharap satu dua keping masuk ke dalamnya.

Sebagai negara Islam, masjid dibangun dengan kekuasaan. Kekuasaanlah yang membuat ummat dapat difasilitasi dalam beribadah. Dan kekuasaan Islam itu (pernah) menancap dalam-dalam di Alam Melayu dengan masjid sebagai salah satu buktinya, di luar tanda-tanda lain macam qanun-qanunnya yang masyhur.

Kalau kita membahas Alam Melayu, maka bentangannya amatlah luas. Ia terentang dari ujung Afrika di Madagaskar sampai pangkal Pasifik di tepian Moloku Kie Raha. Tapi, dimanapun kita berlabuh, seluruh masjid di negeri-negeri Melayu ini dibangun oleh negara atau penguasanya masing-masing.

Hanya saja, gelagat kekuasaan Melayu ini tak seluruhnya berlanjut ke hari ini. Sebahagian ada yang berhenti karena kemudian dikuasai oleh komunitas atau negara lain, dan sebahagian melanjutkan tanggungjawab kekuasaan Islam itu karena daulahnya tidak lumat.

Maka itu tak heran jika nama masjid yang dibangun oleh negara banyak yang dinisbatkan kepada nama sulthan atau penguasanya. Sebut saja di lingkungan Sumatera Timur, macam Masjid Al-Osmani di Medan yang menjadi Masjid Kesulthanan Deli yang mendahului Masjid Raya Al-Mashum, yang dinisbatkan dari nama Tuanku Sulthan Osman Perkasa Alam. Begitu juga Masjid Azizi di Langkat dengan Tuanku Sulthan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah ibni Sulthan Haji Musa, Masjid Raya Bohorok Tuanku Tengku Bahagi, Masjid Raya Asahan Tuanku Sulthan Ahmadsyah, Masjid Raya Brunei Darussalam Tuanku Sulthan Omar Ali Saifuddin, atau Masjid Raya Johor Tuanku Sulthan Abu Bakar.

Akan tetapi, gelagat ini bukanlah sesuatu yang niscaya. Banyak juga kategori masjid raya atau jame’ yang tak mempergunakan nama penguasanya. Bahkan, di Medan ada juga masjid yang dibuat oleh Kesulthanan Deli tapi sulthan tak memberikannya nama. Alhasil penduduk menyebutnya Masjid Lama atau Masjid Bengkok. Disebut Masjid Bengkok boleh jadi karena letaknya yang berada di suatu jalan yang bengkok, berkelok. Dan dahulu ia memang berada di Jalan Bengkok.

Selain dari penamaan, keberadaan makam yang mengitari atau berada dalam satu kompleks dengan masjid juga merupakan ciri daripada masjid Melayu. Keberadaan makam ini kerapkali amat mencolok. Pada Masjid Al-Osmani, misalnya. Sesiapa yang tiba di masjid ini maka pandangannya juga akan langsung tertuju pada makam-makam tersebut. Posisinya seperti mengelilingi. Ia ada di halaman muka dan kanan-kiri masjid.

Tentu saja keberadaan makam di sekitaran masjid tak bermakna klenik. Ia lebih bermakna bagi yang hidup untuk senantiasa mengingat bahwasanya ada kehidupan setelah dunia yang fana ini.

Seni Bina Arsitektur

Sementara itu, kesamaan pola yang amat kasat mata daripada masjid-masjid Melayu adalah pemaknaan atas bangunannya. Dan ia menjadi penanda bahwasanya seni bina arsitektur Melayu menyatu dengan keyakinan yang tumbuh meluas di kalangan rakyatnya.

Di Masjid Sulthan Riau di Pulau Penyengat, begitu memasuki masjid, orang akan menjumpai tujuh buah pintu. Ini ditarik dari surat Al-Fatihah yang berjumlah tujuh ayat. Setiap orang yang ingin membaca Al-Qur’an pastilah harus melewati bacaan Al-Fatihah.

Lima buah ruangan juga akan nampak begitu kaki melangkah ke dalam masjid sampai ke mikhrab. Ini menjadi penanda atas lima waktu shalat. Di samping itu, daun jendelanya sendiri berjumlah enam buah yang melambangkan enam rukun iman.

Sementara di luar, jumlah kubahnya berjumlah 13 buah. Ini adalah penanda bagi rukun di dalam shalat lima waktu yang berjumlah 13. Di samping itu menaranya sendiri berjumlah empat buah.

“13 ditambahkan empat menjadi 17. Jadi, lima waktu shalatnya, 13 rukun shalatnya, 17 rakaat shalatnya,” kata Abdurrahmah Jantan, penjaga kitab-kitab Masjid Sulthan Riau Pulau Penyengat seperti dilaporkan oleh Lentera Timur Channel.

Di dalam masjid ini juga terdapat empat buah tiang. Empat ini disebutkan oleh Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas pada pasal pertama lagi, yakni “Barang siapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang yang ma’rifat”. Empat yang dimaksud ini adalah syariattareqat, hakikat, dan ma’rifat.

Pemaknaan serupa juga dapat kita jumpai di Masjid Al-Osmani, atau yang kadangkala disebut dengan nama Masjid Kuning atau Masjid Labuhan. Masjid ini didominasi oleh dua warna, yakni kuning dan hijau. Kuning sendiri melambangkan kekhasan bangsa Melayu sementara hijau menyiratkan persenyawaan Melayu dengan Islam.

Seperti halnya Masjid Sulthan Riau, Masjid Al-Osmani ini juga memiliki empat buah tiang. Namun berbeda dengan Riau, Deli menyandarkannya pada empat sifat utama Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam. Empat itu adalah shiddiq makna benar, tabligh makna penyampai ajaran Islam, amanah makna dapat dipercaya, dan fathanah makna bijaksana atau cerdas.

Sementara itu, kubahnya sendiri bersegi delapan, yang menjadi puncak di atas masjid. Delapan ini diturunkan dari empat sifat utama dan empat sifat mustahil nabi. Empat sifat mustahil itu adalah kizbu makna dusta, khianat makna tak dapat dipercaya, kitman makna menyembunyikan, dan baladah makna bodoh.

Bahan Putih Telur

Kesamaan ini tak berhenti pada pemaknaan arsitektur seni bina Melayu terhadap masjid, dan juga Istananya masing-masing. Kedua masjid ini, Sulthan Riau dan Al-Osmani, juga sama-sama dibuat dengan bahan putih telur.

Masjid awal Kesulthanan Riau di Pulau Penyengat sebetulnya bukanlah yang hari ini disebut Masjid Sulthan Riau. Ia memiliki masjid yang sudah dibangun pada 1803, yang kemudian hari tidak lagi tertampung akibat jumlah jemaah yang kian ramai.

Pada 1832, Yang Dipertuan Muda Riau Raja Abdurrahman mengajak masyarakat untuk memperbesar masjid yang ada. Tapi nyatanya yang terjadi bukanlah pembesaran atau renovasi, melainkan membuat masjid baru. Itulah yang disebut Masjid Sulthan Riau hari ini.

Karena kekuasaan daulah Riau terbentang cukup luas, berbondong-bondong masyarakat Lingga, Johor, dan Pahang turut membantu. Bagi yang jauh dari Pulau Penyengat, masyarakat membantunya dengan cara mengirimkan makanan bagi para pekerja, seperti ikan kering, ayam, atau sayur mayur. Dan yang paling banyak dikirimkan adalah telur ayam.

Penggunaan putih telur untuk membangun masjid ini sebetulnya bukan sesuatu yang direncanakan. Ia lebih dikarenakan berlimpah-limpahnya telur ayam yang datang. Saat itu orang-orang memakan kuningnya dan putihnya mereka buang-buang.

Ketika itu, arsitek yang membangun Masjid Sulthan Riau adalah seorang India, muslim. Dialah orang yang menyebutkan bahwa putih telur dapat dimanfaatkan dalam pembangunan. Saat itu semen memang belum lagi dikenal. Maka, putih telur itulah yang dipakai untuk merekatkan batu-bata. Pasir, kapur, dan tanah liat dicampurkan dengan putih telur.

“Alhamdulillah, sejak dari 1832 sampai hari ini masjid ini belum pernah direnovasi. Masih asli semua. Justru yang memakai semen, yang ada di luar itu, sudah mulai retak, sudah mulai bocor”, kata Abdurrahman Jantan.

Sementara itu, warna Masjid Al-Osmani sedari jauh memang sudah persis kuning telur. Dalam membangun masjid, putih telur ini dicampurkan dengan garam, kapur, tanah liat, dan batu.

“Di beberapa bahagian dindingnya memang selalu seperti melepuh-lepuh. Padahal sudah dikikis dan digantikan dengan bahan baru, tapi tetap saje begitu. Mungkin karena bahan-bahan itu. Wallahu a’lam,” kata Ahmad Fahruni dari Badan Kemakmuran Masjid Al-Osmani.

Khazanah Intelektual

Masjid-masjid Melayu, sepertimana masjid-masjid bangsa lain, menyimpan khazanah pemikiran dari tuan-tuan gurunya, baik dari negeri sendiri maupun dari luar. Dan kemanapun kita pergi ke masjid tua di kawasan Melayu, agaknya mudah untuk menemukan koleksi kitab lama. Kitab-kitab itu umumnya berhuruf Arab-Melayu dan Arab serta berbahasa Melayu dan Arab.

Begitu jugalah halnya dengan Masjid Sulthan Riau. Di dalam masjid ini tersimpan dua buah almari yang berisi macam-macam kitab. Perpustakaan, yang disebut dengan Khutub Khanah, tepatnya Khutub Khanah Marhum Ahmadi, disebut-sebut merupakan perpustakaan Islam pertama di rantau Alam Melayu ini. Jumlah koleksinya disebutkan mencapai sekitar 1200 kitab.

Khutub Khanah Marhum Ahmadi merupakan koleksi daripada Yang Dipertuan Muda Riau ke-10 Raja Muhammad Yusuf Ahmadi. Selain menjadi pemimpin, Raja Muhammad Yusuf Ahmadi juga adalah seorang imam daripada tareqat Naqsabandiyah.

Di antara kitab-kitab koleksi yang masyhur di masjid ini adalah kitab penyakit jiwa karangan Ibnu Sina dan kitab Al-Umm karangan Tuan Pembela Sunnah Imam Syafi’i – semoga Allah merahmatinya.

Selain itu, masih di dalam masjid, terdapat juga dua buah Al-Qur’an yang ditulis tangan. Yang berada di tengah masjid ditulis oleh Abdurrahman. Di masa itu, Sulthan Riau mengantarkan Abdurrahman untuk belajar ke Utsmaniyyah, salah satunya untuk belajar penulisan Al-Qur’an. Setelah kembali, ia pun menuliskan Al-Qur’an dan selesai pada 1867. Ia menulis dengan khat Istambul. Kemudian Al-Qur’an ini disebut dengan Al-Qur’an tulis tangan Abdurrahman Istambul.

Keistimewaan mushaf Abdurrahman Istambul ini disebutkan terletak pada banyaknya penggunaan “ya” busra serta beberapa rumah huruf yang titiknya sengaja disamarkan. Alhasil pembacanya cenderung membaca berdasarkan interpretasi individu sesuai akal dan ilmunya.

Selain yang ditulis oleh Abdurrahman, ada lagi satu tulisan tangan Al-Qur’an yang lebih tua. Ia ditulis oleh Abdullah Al-Bugisi pada 1752. Hanya saja, sekarang Al-Quran tulis tangan Abdullah tak lagi bisa dibaca. Kertasnya masih utuh namun huruf-hurufnya sudah macam terbakar, hangus.

Dalam sketsa masjid Melayu ini, teranglah pasal bahwasanya pasak daripada masjid-masjid sebetulnya bukanlah batu bata, semen, putih telur, atau tanah liat. Pasak itu tak lain adalah orang-orang yang mencintai masjid. Diriwayatkan pula bahwasanya Nabi Muhammad bersabda bahwa orang yang senantiasa berada di dalam masjid akan memperoleh tiga perkara, yakni 1) kawan yang bermanfaat, 2) kata-kata yang mengandung hikmah, dan 3) rahmat yang selalu diidam-idamkan. Dan secara natural, orang memang akan memperindah apa-apa yang dicintainya.

Tapi zaman telah pun berubah. Angin dahulu bukan lagi angin hari ini. Hari ini masjid memang bertaburan. Tak saja di setiap jalan tetapi juga sudah di setiap lorong. Bahkan, di satu jalan yang pendek dapat pula dijumpai dua atau lebih masjid dengan kategori raya atau jame’. Ini menjadi penanda struktur sosial tidak lagi sederhana kalau tak mau disebut tak bertatanan.

Dan bagai anak ayam kehilangan induknya, di jalanan orang pun telah menggoyang-goyangkan jaringnya demi berharap uang jatuh ke ke dalamnya. Di atas tanah yang telah diasaskan suatu tamaddun Melayu, ia melakukannya bukan untuk perutnya. Tapi untuk membangun masjid.

Tengku Muhammad Dhani Iqbal

Tulisan ini sudah diterbitkan di Majalah Tabligh (Muhammadiyah) pada edisi April 2021.

Leave a comment