Diktat Jakarta untuk Dua Pesta

Sejumlah media massa melaporkan orang-orang yang terkejut. Sebagian lagi dikatakan marah. Semua bersebabkan adanya penayangan pernikahan pemain sinetron selama berhari-hari oleh PT. Televisi Transformasi Indonesia di awal Oktober 2014. Dan Komisi Penyiaran Indonesia sudah melayangkan teguran tertulis.

Tapi, usai ditegur oleh Komisi Penyiaran itu, dan selagi orang-orang masih terkejut-kejut, perusahaan lain yang bernama PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia menyusul menayangkan acara serupa secara langsung (live). Agaknya, komisi itu memang tak dianggap ada. Kata orang, datangnya tak genap, perginya tak ganjil. Ada tiadanya tak ada beda.

Argumentasi Komisi Penyiaran Indonesia dan orang-orang yang terkejut dan marah itu dialaskan pada penggunaan frekuensi publik oleh perusahaan tersebut. Penyiaran yang dilakukannya, menurut undang-undang yang mengaturnya, terkait dengan spektrum frekuensi radio. Dan ia merupakan sumber daya alam terbatas.

Dalam Undang-Undang Dasar disebutkan bahwa negara (telah) menguasai (bukan memiliki) cabang-cabang produksi yang penting bagi kehidupan orang banyak. Di sana dikunci bahwa penguasaan itu haruslah dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sampai di sini, duduk perkara sebetulnya sudah terang. Rupanya, negara yang telah menguasai sumber daya alam ini telah memindahtangankan penguasaannya kepada pihak lain. Dan kedua belah pihak, utamanya pihak pertama, ini nyatanya telah melakukan pengabaian terhadap frase ‘penguasaan’ itu.

Jika negara/pemerintah adalah penguasa, maka siapa pemiliknya? Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 telah mengalaskan prinsip dan pengertian dari ‘dikuasai negara’ itu. Prinsip ini telah dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2005.

Mahkamah menegaskan bahwa penguasaan oleh negara diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ‘bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya’.

“Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” begitu kata Mahkamah dalam putusannya.

Ada empat fungsi yang termaktub dalam putusan tersebut. Pertama, fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie).

Kedua, fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Ketiga, fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dan keempat, fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara, c.q. pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Disebutkan pula bahwa yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi negara, tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak.

Terlepas dari tayangan pernikahan yang laksana cctv di sebuah gedung perkawinan itu masuk dalam kategori mana, ia sebetulnya seperti manifestasi dari suatu pola pikir khas demokrasi Indonesia.  Logika khas itu adalah yang sering diucapkan oleh suatu kelompok: sentral demokrasi.

Sentral demokrasi menyiratkan suatu paradoks di dalam dirinya. Sentral tapi demokrasi. Demokrasi tapi sentral. Bagaimana jika hasil demokrasi tak memuaskan mau sang sentral? Atau, bagaimana jika mau sang sentral tak mendapat tempat dalam demokrasi?

Saya mengandaikan, dan ini bisa benar bisa salah, bahwa proses penayangan pernikahan yang ditayangkan PT. Televisi Transformasi Indonesia dan PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia sudah melalui suatu mekanisme. Bisa jadi mekanismenya adalah musyawarah/perdebatan atau voting.

Mekanisme itu, apapun dia, bisa diarahkan untuk relevansi penayangan, penentuan waktu siar, penggunaan pakaian, atau pemasarannya. Bisa jadi perdebatan itu sengit, dan bisa jadi juga tidak. Dan hasilnya adalah seperti yang sudah terjadi: pernikahan itu ditayangkan dengan sekian hari, durasi, pakaian, dan pemasaran tertentu.

Proses panjang yang dilalui perusahaan-perusahaan itulah yang kemudian disebarluaskan kepada orang banyak yang tidak tahu menahu. Dan orang-orang terkejut. Reaksinya beragam. Ada yang marah lalu mencibir, ada yang menikmati saja apa yang terjadi, atau malah ada yang menanyakan mengapa pernikahan si A yang ditayangkan bukan si B.

Hal serupa juga terjadi pada apa yang disebut demokrasi khas Indonesia itu. Untuk memilih seorang pemimpin, ada suatu kelompok di luar dirinya yang melakukan seleksi, restu, dan izin. Kelompok ini bukanlah golongan cerdik pandai laksana dewan wali atau, katakanlah, dewan datuk yang beralaskan nilai spiritual dan bertautkan pada daerahnya sendiri. Tapi ini kelompok dengan kepentingan-kepentingan jangka pendek yang berasal dari luar daerah yang melakukan sekian mekanisme dengan sekian jurus lobi untuk kemudian menyebarluaskan hasilnya kepada orang banyak.

Jika di perusahaan-perusahaan televisi kelompok itu disebut bagian produksi dan penjadwalan, maka di politik ia umum disebut DPP. DPP ini akronim dari Dewan Perwakilan Pusat. Apapun partainya, DPP inilah satu-satunya jalur yang menyeleksi, merestui, dan mengizinkan siapa orang yang berhak untuk dimajukan sebagai pemimpin suatu daerah.

Respon orang banyak terhadap keputusan mereka kerap sama dengan respon orang banyak terhadap keputusan-keputusan perusahaan-perusahaan televisi. Ada yang kaget, ada yang marah, ada yang menikmati. Ada juga yang cepat-cepat menyesuaikan diri karena sekian proyek berarti akan menerpa dirinya.

Mereka yang terkejut dan marah biasanya dikarenakan sang DPP menyeleksi, merestui, dan mengizinkan orang yang bukan berasal dari daerah tersebut untuk maju menjadi pimpinan. Dan mereka yang menyetujui sebetulnya juga bukan semata karena perkara ekonomi. Sering juga penyesuaian terjadi karena puaknya telah diizinkan oleh kelompok luar yang berkuasa itu untuk maju sebagai pimpinan.

Kemudian hari, apa yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pusat untuk menghentikan proses pemilihan kepala daerah secara langsung, seorang sesuara, menuai pro dan kontra. Masing-masing memiliki argumentasi.

Pada saat yang sama, secara kebetulan pecah aksi demontrasi besar-besaran di Hongkong terhadap sentral di Beijing. Isunya juga mekanisme memilih pimpinan. Dan mereka yang menolak pemilu kepala daerah secara langsung sering menyamakan diri dengan apa yang terjadi di Hongkong. Mereka, yang di Indonesia, menolak hak politik individunya diterabas atau dicopot.

Akan tetapi, penyamaan diri dengan Hongkong tentu saja terlalu sembarangan. Massa aksi di Hongkong berpijak pada penolakan atas keterlibatan Beijing dalam pencalonan pimpinan eksekutif untuk daerah mereka sendiri. Penolakan ini memiliki jejak sejarahnya sendiri, yang menentukan cara berpikir orang Hongkong.

Di Indonesia, gendangnya sebetulnya jauh panggang dari api. Mau pemilu langsung ataupun tak langsung, prosesi pemilu jelas melibatkan sentral Jakarta sebagai penentu. Dengan posisi sebagai penentu, daerah-daerah otomatis berposisi sebagai sang pemohon. Daerah memohon kepada sentral Jakarta agar mengizinkan orang dari daerahnya, si A atau B, untuk dapat maju berlaga menjadi pimpinan di daerahnya sendiri.

Namanya pemohon, tentu peluangnya tak mutlak. Semua menunggu kebaikan hati sentral/DPP. Semua menunggu mekanisme DPP yang sedang dalam membaca keadaan daerahnya sendiri. Apapun mekanismenya, daerah yang bersangkutan harus menerima.

Dan, betapapun dipilih oleh orang banyak, pemimpin yang dimuliakan itu toh bisa ditangkap begitu saja oleh suatu komisi pusat. Tak ada pertimbangan apapun bahwa yang ditangkap itu, yang belum pun vonis tapi sudah buruk namanya, dipilih oleh orang banyak. Padahal, orang banyak menurut konstitusi adalah pemegang kedaulatan tertinggi.

Pola semacam inilah yang menjadi paralel dengan perusahaan-perusahaan televisi penayang pernikahan itu. Keduanya memiliki otoritas menentukan apa saja. Keduanya tak peduli apakah itu akan membuat orang banyak merasa direndahkan marwahnya. Keduanya tak sungkan menentukan proses kepemimpinan di daerah yang ia tak tahu seluk beluk dan sejarahnya.

Pada perusahaan televisi penayang pernikahan, ia tak ambil pusing apakah adat atau penampilan di dalamnya akan menabrak kaidah, norma, dan nilai orang banyak. Ia tak peduli bahwa pakaian-pakaian pesta pernikahan yang ia pancarluaskan sebagai sesuatu yang tak patut dalam perspektif orang Melayu/Islam. Auratnya yang terlihat dimana-mana disebarkan ke ruang-ruang kultural yang sejatinya bertolak belakang. Di sini, para penulis atau peneliti yang gegabah bisa saja menjadikan ikon-ikon di dalam tayangan itu sebagai ikon atau representasi orang Indonesia, yang di dalamnya sebetulnya terbujur massa muslim yang terdiam.

Akan tetapi, hal ini tak menjadikan acara semacam itu haruslah dilarang. Yang harus dilakukan adalah mendorong supaya perusahaan-perusahaan televisi semacam itu keluar dari negeri-negeri muslim. Harus ada garis demarkasi yang tegas antara “kami” dan “kalian”.

Dan hal sebaliknya juga harus dilakukan. Misalnya, jangan siarkan penyembelihan hewan di Hari Raya Idul Adha ke negeri-negeri Hindu yang justru menghormati hewan yang sama.

Sikap serupa juga terjadi pada kelompok-kelompok di bidang politik. Mereka kerap tak ambil peduli bahwa pilihan mereka atas seseorang untuk memimpin suatu daerah adalah tidak cocok. Mereka merasa tidak ada yang salah dalam mendikte orang-orang kampung lain.

Akan tetapi, seperti juga halnya pada perusahaan televisi, bukan berarti kelompok luar tak diperbolehkan untuk ikut serta dalam proses kepemimpinan suatu wilayah. Hanya saja, karena masih satu negara, peran sebesar dan semulia itu harus dilucuti semaksimal mungkin oleh mereka yang memang mengetahui persis dinamika dan sejarah wilayahnya.

Jikapun antara perusahaan televisi dan DPP ini ada bedanya, itu hanya terletak pada tidak dipublikasikannya mekanisme pra penayangan pernikahan. Ia tak seperti DPP itu, yang rapat-rapatnya sering membolehkan adanya peliputan. Jadi, andaikan orang banyak dilibatkan, dalam arti diberikan tontonan mengenai, misalnya, siapa lawan siapa dengan gagasan apa dalam penentuan tayangan, durasi, pakaian, dan semacamnya dalam pernikahan itu, barangkali orang-orang pun juga akan tersihir. Semua akan menerima takdirnya sebagai lembu yang dicucuk hidungnya.

Pola penyihiran semacam ini sebetulnya sudah terjadi dalam berbagai acara produksi idola-idola. Orang tiba-tiba bisa merasa dekat dengan si penyanyi A karena ayahnya begini dan begitu, keluarganya dalam keadaan tertentu, dan sang ibu bekerja keras dalam bidang ini dan itu.

Konstruksi idola serupa ini juga menyeruak pada pelantikan presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla, Senin, 20 Oktober 2014. Pada pelantikannya, mereka berpesta, bernyanyi riang gembira, dan perusahaan-perusahaan televisi kembali akan menyiarkannya secara langsung dalam durasi yang lama.

Faksi-faksi pusat, juga perusahaan-perusahaan televisi, sama tak pedulinya sebagaimana dampak-dampak yang mereka lakukan pada pesta pernikahan dan penentuan pemimpin suatu wilayah. Mereka sampai hati tak menyiarkan secara langsung dan terus menerus untuk berbagai macam korban bencana alam, seperti Sinabung di Tanah Karo, atau kabut asap di Sumatera-Kalimantan, penangkapan kaum bumiputera/adat, atau berbagai konflik yang mengoyak-koyak tatanan sosio-kultur suatu wilayah.

Politik sudah berubah menjadi bisnis pertunjukkan dengan istilah-istilah lama sebagai jembatan ke dunia baru yang asing: keadilan, ketimpangan, dan entah apa lagi itu namanya.

Dimuat di LenteraTimur.com pada Oktober 2014

Leave a comment