Orang Seberang di Tanah Bertuan, Tak Sekadar Selayang Pandang

Kerusuhan di Lampung Selatan baru-baru ini telah menyita perhatian publik begitu luas. Bukan saja karena telah menimbulkan korban belasan jiwa dan ramai diulas oleh media massa, namun sedikit banyak juga menguak pucuk gunung es permasalahan antara masyarakat bumiputera dengan pendatang.

Seperti diketahui, pada 28 Oktober 2012 pecah kerusuhan antara penduduk Desa Agom di Way Panji dengan penduduk Desa Balinuraga yang dihuni oleh orang-orang Bali, di Lampung Selatan. Selain terbunuhnya orang dari kedua belah pihak, rentetan dari peristiwa itu menyebabkan ratusan rumah yang berada di Kampung Balinuraga dibakar. Ribuan penduduk Balinuraga pun harus diungsikan ke gedung Sekolah Polisi Negara (SPN).

Suasana mulai kondusif setelah diadakannya pertemuan antara pimpinan kedua etnis ini. Dari pihak Bali, hadir Abhiseka Raja Majapahit Bali Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX, Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendratta Wedasteraputra Suyasa III; dan dari pihak Lampung hadir Ketua Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL), Kadarsyah Irsya. Keduanya menandatangani maklumat kesepakatan perdamaian di hotel Novotel, Lampung, Minggu (4/11).

Meski demikian, perjumpaan antara Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna dengan Kadarsyah Irsya bukan baru kali ini terjadi. Pada 6 Maret 2012, keduanya juga sudah melakukan pertemuan. Di Bandar Lampung, seperti dilansir oleh berbagai media, keduanya mengingatkan ihwal Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit yang disebutnya telah mewarnai negara Indonesia. Tapi, tujuh bulan setelah pertemuan itu, konflik keras pun terjadi.

***

Sebelum bentrokan pada Oktober ini pecah, kedua belah pihak memang sudah sering bertikai. W. F. Wertheim dalam The Lampung Affair: A Personal Perspective, Inside Indonesia (April, 1989) mencatat bahwa letupan sosial terbuka, terutama terkait dengan isu tanah, yang melibatkan orang Lampung dengan pendatang sudah terjadi pada 1989. Akan tetapi, sebetulnya resistensi ini jarang dilakukan secara terbuka karena represifnya pemerintahan militer zaman itu.

“Apa yang sebelumnya telah dilakukan oleh Sukarno dengan menasionalkan organisasi pemerintah daerah, dilanjutkan secara lebih sistematis oleh pemerintahan Suharto, antara lain dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Penyeragaman sistem pemerintahan daerah dan desa di seluruh negeri berlangsung tanpa resistensi karena perubahan politik selalu dikawal oleh militer yang sepenuhnya di bawah kendali Suharto,” tulis Riwanto Tirtosudarmo melalui artikel “Setelah Nasionalisme: Politik Identitas Orang Jawa di Lampung” dalam Jurnal Nasion, Volume 7, Nomor 1, Tahun 2010, Jakarta.

Di Lampung, sejak 1973 sampai 1998, atau sampai tumbangnya presiden Suharto, gubernur Lampung sebagian besar memang diduduki militer yang berasal dari Jawa. Mereka adalah Sutiyoso (1973-1978), Yasir Hadibroto (1978-1988), dan Pedjono Pranyoto (1988-1998).

Orang bumiputera yang negerinya dijadikan wilayah transmigrasi menilai keberadaan orang-orang dari tanah seberang menimbulkan masalah. Tidak saja dalam persoalan tanah yang ditempati, tetapi juga dalam perilaku sehari-hari. Karena itu, sejumlah pihak di Lampung mengatakan bahwa kerusuhan kali ini semacam klimaks dari pola perjumpaan kedua pihak.

Dalam transmigrasi, istilah ‘seberang’ memang kerap digunakan. Ia menjadi istilah yang digunakan oleh kedua belah pihak yang berbeda sudut pandang. Bagi pribumi, pendatang adalah orang-orang yang berasal dari ‘tanah seberang’. Begitu juga sebaliknya. Bagi pendatang, tanah yang didatangi juga merupakan ‘tanah seberang’.

Lampung Selatan adalah wilayah yang memiliki sejarah panjang mengenai migrasi manusia, sejak zaman Belanda pun Indonesia. Patrice Levang dalam bukunya Ayo ke Tanah Sabrang: Trasnmigrasi di Indonesia (2003) menulis bahwa di awal abad 20 ada sekelompok cerdik pandai Belanda, seperti Van de Venter, Val Kool, dan Brooschoft, yang membentuk gerakan Ethici di wilayah yang mereka sebut sebagai India Timur atau India Belakang atau India Belanda. Mereka berpendapat bahwa Belanda memiliki “utang kehormatan atau utang budi” pada wilayah koloninya; dan penghasilan negara jajahan terutama harus dimanfaatkan untuk meringankan penderitaan bumiputera. Gerakan tersebut bergema di kalangan umum dan menggugah Pemerintah Belanda untuk melaksanakan ‘politik etis’ sejak 1900. Semboyan yang didengung-dengungkan adalah pendidikan, irigasi, dan migrasi.

Levang menjelaskan bahwa Lampung merupakan salah satu wilayah yang memiliki program migrasi, yang saat itu diistilahkan oleh Belanda sebagai kolonisatie. Pada 1905, diceritakan bahwa Asisten Residen H. G. Hejting mengirimkan satu rombongan yang terdiri atas 155 keluarga dari Karesidenan Kedu di Jawa Tengah ke Gedong Tataan di Lampung. Di tempat itu, orang-orang seberang ini bekerja dalam proyek membangun kampung yang diberi nama Bagelen. Selanjutnya empat kampung lain dibangun antara 1906 dan 1911, dimana setiap kepala keluarga pendatang ini memperoleh 70 are sawah dan 30 are pekarangan, serta biaya transportasi, bahan bangunan, peralatan, serta jaminan hidup selama dua tahun.

Pada 1928, proyek pengiriman tenaga kerja Jawa ke Lampung ini sempat dihentikan karena dinilai tidak berhasil. Namun demikian, gelombang migrasi terus berlanjut ke Lampung. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini orang-orang Jawa datang dengan menggunakan biaya sendiri.

Program migrasi pekerja dari Jawa ke Lampung ini terus berjalan di zaman Indonesia dengan Sukarno sebagai presiden. Hanya saja, istilahnya diganti. Jika istilah sebelumnya adalah kolonisatie, kini ia bernama transmigrasi.

Narasi yang berbeda muncul di Medan. Sebelum Belanda mengimpor tenaga kerja dari luar, negeri ini sudah dihuni oleh macam-macam ras dan bangsa-bangsa. Hal ini tak mengherankan karena Medan secara geografis berada di sisi jalur pelayaran Selat Malaka, yang sangat strategis untuk perdagangan ekspor dan impor antar negara kerajaan.

Terkait migrasi pekerja, di sini terdapat Asosiasi Umum Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatera atau Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatera (AVROS). AVROS yang  gedungnya didirikan pada 1918 oleh G. H. Mulder ini berfungsi untuk mengorganisir beberapa negara yang menanamkan investasinya_._

Di dalam AVROS terdapat sekitar tiga ratus anggota yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Belgia, dan yang terbanyak adalah Belanda. Mereka  mengambil tenaga kerja dari tiga negeri, yakni Jawa, India, dan Cina (JIC). Ada dua pendapat mengenai imigran Cina dan Jawa. Pertama, orang-orang Tionghoa ini hadir terlebih dahulu untuk kemudian digantikan oleh orang-orang Jawa. Kedua, buruh dari kedua negeri tersebut hadir secara bersamaan. Pada masa itu, sejumlah catatan menunjukkan bahwa buruh-buruh Tionghoa yang datang dari Shantou dianggap bekerja kurang baik dan suka berkelahi.

Di antara organisasi buruh yang dibentuk adalah Java Immigranten Bureau, yang bertugas sebagai agen perekrutan yang kala itu mencapai sekitar empat ribu orang.

Di awal kedatangannya, imigran ini tak saja mendapatkan upah, tetapi juga mendapatkan jatah yang disebut catu 11. Ia terdiri dari beras, ikan, gula, garam, minyak goreng, minyak lampu, susu, teh, kopi, pakaian (kain), dan ditambah satu perumahan dan pemeliharan kesehatan sebagai hak dasar. Pemberian rumah ini dimaksudkan oleh pengelola kebun untuk memudahkan pengawasan para pekerja kontrak ini dalam bekerja. Sisa-sisa model rumahnya sampai sekarang masih dapat ditemukan di sekitar Perumahan Perhubungan Indah, Desa Kolam, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.

Bumiputera sendiri ketika itu tidak menjadi kuli dari industri perkebunan. Menurut cerita, bumiputera bekerja dengan status minimal ‘ADM’, istilah zaman itu yang berarti ‘administrasi’. Sedangkan imigran di luar Jawa, India, Cina, seperti Minangkabau, Mandailing, dan Aceh, umumnya datang dan bekerja sebagai pedagang, guru, ulama, atau turut dalam manajemen dari perkebunan-perkebunan tersebut.

Upaya mendatangkan imigran ini terus berlangsung ketika industri perkebunan mengalami kemajuan pesat di era Negara Sumatera Timur. Koran Pandji Ra’yat (2 November 1948), mencatat bahwa persoalan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur (kembali) diselesaikan dengan mendatangkan buruh dari Jawa, tepatnya dari Banyuwangi. Adapun untuk besaran upah, koran yang sama, pada 2 Juli 1948, mencatat bahwa para pekerja imigran mendapatkan upah harian sebesar 85 sen (laki-laki) dan 75 sen (perempuan). Di masa itu, di luar upah, Djawatan Penerangan Departemen Oeroesan Sosial Negara Sumatera Timur mensyaratkan agar pengusaha juga menyediakan beras, jagung, ikan, minyak kelapa, dan barang-barang tekstil dengan harga rendah kepada pekerja imigran. Jika tidak mampu, maka pengusaha perkebunan harus membayarkannya berupa uang sesuai dengan harga pasar.

Sementara itu, koran Pelita Rakjat (30 Oktober 1948) mencatat bahwa ada perjanjian antara Negara Sumatera Timur, AVROS, dan Deli Planters Vereeniging (DPV) untuk menyewa buruh imigran dari Jawa sebanyak tiga ribu orang. Upaya mendatangkan imigran ini disusul dengan kewajiban dari negara bahwa pengusaha harus selekas mungkin membangunkan rumah untuk keluarga buruh tersebut beserta perawatan ketabiban (kesehatan) secara percuma, air, dan menyediakan bahan pakaian dan makanan yang dijual dengan harga rendah.

Timbunan Kasus

Apa yang terjadi di Lampung sebetulnya bukanlah hal baru dan satu-satunya di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, atau dunia, dalam hal perjumpaan antara penduduk tempatan dengan orang-orang seberang. Dalam beberapa tahun terakhir, perjumpaan ini telah menimbulkan gesekan di banyak tempat.

Pada Februari 2012, misalnya, para pemuda di Pulau Buru, Maluku, mendesak supaya Bupati Buru, Ramli Umasugi, menutup areal pertambangan emas. Sebab, muncul kekhawatiran akan terjadinya bentrokan antara penduduk asli dengan para pendatang, seperti dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Jawa, yang jumlahnya kurang lebih 20 ribu orang. Seperti dilaporkan Radiodms.com (24/2), pemuda adat sudah mendesak pemerintah dan legislator Buru untuk melakukan operasi justicia di Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru.

Pada Juli 2012, di Kutai Timur, Kalimantan Timur, sekitar seratus kepala keluarga asal Jawa telah diusir oleh Pemerintah Kutai. Para transmigran, yang sebelum diusir sudah mengungsi di Kecamatan Kaliorang, mengaku datang ke Kutai karena ikut serta dalam program transmigrasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia. Namun, seperti dilansir oleh kantor berita Antara (2/7/11), karena tidak diterima oleh penduduk tempatan, mereka meminta supaya dipulangkan atau dipindahkan ke daerah lain. Menurut pengakuan salah seorang transmigran, lahan yang akan mereka garap masih tumpang tindih dengan lahan yang dimiliki warga tempatan.

Pada November 2010, sebanyak 12 transmigran dipulangkan dari Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Para transmigran yang berasal dari Pemalang, Jawa Tengah, ini minta dipulangkan karena lahan yang mereka tempati ternyata diklaim sebagai lahan milik masyarakat Kepala Burung. Dilaporkan oleh cakrawalainterprize.com (11/11/11), mereka yang dipulangkan bukan saja warga Pemalang, namun juga transmigran yang berasal dari daerah lain. Para transmigran ini mengaku merasa diteror dan keselamatannya terancam.

Perjumpaan antara etnis Madura yang banyak mendatangi wilayah Kalimantan juga menimbulkan kerusuhan yang luar biasa pada 1997 di Sambas dan 2001 di Sampit. Kedatangan orang-orang Madura di Kalimantan disebutkan mulai terjadi sejak 1930, yang dibawa oleh Belanda untuk dijadikan pekerja. Kebijakan ini, lagi-lagi, dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia (Immigrations and Conflict in Indonesia, 2002).

Di Kalimantan Tengah, hingga 2000, transmigran Madura sudah menjadi kekuatan tersendiri. Disebutkan bahwa populasi Madura di daerah tersebut sudah 21 persen dari seluruh populasi. Dan hal ini menimbulkan persaingan dengan bumiputera, orang-orang Dayak, dalam berbagai sektor: kontrol bisnis pertambangan, perkayuan, perkebunan. Persaingan ini kemudian berubah menjadi konflik yang demikian keras.

Sementara itu, kejadian serupa juga terjadi Poso, Sulawesi tengah. Meski persoalannya tidak bisa serta merta dihitam-putihkan seperti wilayah lain, yang melibatkan kutub bumiputera dan pendatang, namun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam laporannya pada tahun 2004 mengatakan bahwa program transmigrasi juga turut mengocok ulang komposisi penduduk berdasarkan agama. Penempatan transmigran asal Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, terjadi di hampir seluruh kecamatan, termasuk kecamatan-kecamatan dengan penduduknya yang mayoritas beragama Kristen, seperti di Kecamatan Pamona Utara, Pamona Selatan, Mori Atas, Lembo, dan Lore Utara. Pada saat yang sama, transmigran asal Jawa dan Nusa Tenggara Barat mayoritas beragama Islam, dan sejumlah kecil menganut agama Kristen. Dan transmigran asal Bali mayoritas menganut agama Hindu.

Akibatnya, seperti yang terjadi di Kecamatan Pamona Selatan, terjadi pergeseran persentase angka statistik jumlah penduduk berdasarkan agama. Pada 1996, penganut agama Islam sebesar 22,87 persen, Kristen 63,64 persen, dan Hindu/Budha 8,96 persen. Padahal, 14 tahun sebelumnya, (1972), penganut agama Islam di wilayah ini hanya 3,44 persen dibanding Kristen 96,54 persen.

Di Kecamatan Lembo dan Morowali, transmigrasi menyebabkan jumlah penduduk beragama Islam meningkat pesat. Pada 1996, penganut Islam mencapai 35,43 persen, Kristen 60,15 persen, dan Hindu/Budha 4,47 persen. Padahal, pada 1972, penganut Islam 3,34 persen dan Kristen 96,65 persen. Segregasi antara kelompok dengan latar belakang agama berbeda inilah yang menjadikan konflik demikian seriusnya muncul.

Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua juga berpotensi untuk menimbulkan benturan baru. Seperti yang ditulis dalam buku MIFEE: Tak Terjangkau Angan Malind_, disebutkan_ bahwa agar semua proyek MIFEE terlaksana sebagaimana mestinya, diperkirakan dibutuhkan sekitar empat tenaga kerja untuk setiap hektarnya. Artinya, secara total dibutuhkan sekitar 4,8 juta tenaga kerja. Ini adalah jumlah yang luar biasa besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Merauke sendiri saat ini.

Menurut data Dinas Sosial Politik dan Kependudukan Merauke, Papua, pada Mei 2010, penduduk Kabupaten Merauke adalah 233.059 jiwa. Arus migrasi yang kencang ke Papua akan bertambah dengan proyek pangan ini, dan secara sosial-kultur-politik, masyarakat di sana akan kian tertekan. Pemilihan umum yang mensyaratkan satu orang satu suara akan membuat penduduk asli tersisih, pun demikian halnya dengan kebudayaan, dimana orang-orang seberang yang biasanya membawa serta kebudayaan dari tempat asalnya akan tampak mendominasi ruang.

Bukan Asal Kirim

Direktur Jenderal Pembangunan Pembangunan Kawasan Transmigrasi, Jamaluddin Malik, mengklaim bahwa program transmigrasi saat ini sudah lebih baik. Saat ini sedang diupayakan agar antar pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama guna memenuhi kebutuhan untuk mengirim maupun mendatangkan transmigran.

“Mereka bisa saling bertukar informasi tentang kebutuhan transmigran antar daerah mereka sendiri,” tutur Jamaluddin kepada LenteraTimur.com, Jumat (2/11).

Sebanyak 19 pemerintah provinsi sudah menandatangani nota kesepahaman perihal kerjasama antar daerah transmigrasi ini. Provinsi yang menjadi daerah asal transmigran adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Lampung (yang 62 persen dari total populasinya adalah orang Jawa). Sedangkan 14 provinsi yang masuk dalam kelompok “daerah penempatan” adalah Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Maluku. Sedangkan 18 kabupaten dan kota yang menandatangani naskah kerjasama antar daerah ini terdiri dari sepuluh daerah asal, yakni Kabupaten Pesawaran, Lampung Utara, Bogor, Sukabumi, Purwakarta, Surakarta, Bondowoso, Pasuruhan, Situbondo, dan Sampang. Sedangkan delapan daerah tujuan yakni Kaur, Kubu Raya, Gunung Mas, Bulungan, Luwu Timur, Wajo, Luwu Utara, dan Konawe Selatan.

Saat ini, daerah-daerah terkait transmigrasi bahkan bisa melakukan moratorium transmigrasi jika memang tidak dibutuhkan atau program sebelumnya dirasakan tidak berhasil. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, misalnya, seperti diberitakan oleh Mediaindonesia.com (16/9), sudah melakukan moratorium transmigrasi hingga 2013 karena terdapat berbagai macam persoalan sengketa tanah dan adanya beberapa daerah transmigrasi yang justru menjadi daerah tertinggal.

Untuk mengatur supaya masyarakat daerah transmigrasi juga mendapatkan manfaat, Jamaluddin mengatakan bahwa Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mengupayakan komposisi jumlah penduduk lokal dengan transmigran hingga persentasenya mencapai 50:50. Hal ini dilakukan supaya kedua pihak, baik penduduk lokal maupun pendatang transmigran, sama-sama diuntungkan dengan adanya program transmigrasi.

“Contohnya di Katingan, transmigran yang didatangkan ke sana asalnya dari Yogya. Tapi di lahan transmigran (orang Yogya-red) juga berkumpul dengan warga Katingan. Separuh dari Yogya, separuhnya orang asli situ. Supaya mereka membaur dan tentunya mempererat kesatuan bangsa,” kata Jamaluddin.

Namun demikian, pendapat ini dibantah oleh sejarawan cum antropolog dari Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari. Menurut Ichwan, permasalahan yang ada bukan terletak pada persentase antara penduduk asli dan pendatang. Persoalannya adalah pertemuan kultur yang berbeda.

“Pemerintah merekayasa dengan persentase penduduk asli dan pendatang. Tapi soalnya bukan itu. Ini lebih ke pertemuan antara dua kultur yang jika bertemu berpotensi terjadi segregasi,” tegas Ichwan kepada LenteraTimur.com, Sabtu (3/11).

Pembukaan lahan-lahan pertanian dan perkebunan menjadi salah satu unggulan program transmigrasi. Sebut saja pembukaan perkebunan kelapa sawit maupun karet. Namun demikian, komoditas-komoditas yang ditanam banyak yang tidak cocok dengan kultur yang sudah biasa ditekuni penduduk tempatan.

“Penduduk lokal memiliki budaya bertani sendiri-sendiri. Orang Palembang suka menanam duku, orang Medan unggul dengan duriannya. Mengapa harus disuruh semua bertani sawit dan karet? Dianggapnya pemerintah sama saja antara budaya dengan ekonomi,” kata Ichwan.

Dikatakan oleh Ichwan, pendatang memang lebih sering menjadi pemenang. Meskipun tidak selamanya benar, kenyataan bahwa para pendatang berada di tanah orang lain kadang-kadang justru memacu dirinya lebih gigih dalam bekerja. Apalagi mereka mendapatkan fasilitas dari pemerintah sebagai transmigran. Dan keberhasilan mereka kadang-kadang memunculkan kesenjangan.

“Ada semacam keterkejutan penduduk tempatan misalnya ketika tanah-tanah mereka habis. Identitas lokal mereka muncul saat itu karena mereka merasa tertinggal di tanahnya sendiri. Mereka marah, namun marahnya mereka karena ada perasaan ketidakberdayaan,” tutur Ichwan.

Situasi batin bumiputera ini tampaknya tak dapat dirasakan Pemerintah Indonesia. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, seperti dilaporkan sejumlah media, mengaku heran dengan adanya konflik yang terjadi di Lampung, yang dianggapnya dipicu oleh hal sepele.

“Padahal transmigrasi dari Bali kan sudah puluhan tahun di sana. Dan selama ini baik-baik saja. Tapi entah mengapa kok bisa hanya karena masalah sepele timbul amuk massa yang begitu luar biasa,” kata Gamawan seperti diberitakan Jppn.com, Rabu (31/10).

Dengan adanya konflik di Lampung, Gamawan mengatakan bahwa pola transmigrasi akan dikaji ulang. Khususnya terkait dengan pengelompokan wilayah berdasarkan etnis, seperti Kampung Jawa atau Bali.

“Kalau dari Jawa, dia akan suku Jawa semua. Atau kalau dari Bali, maka Bali semua yang dipindahkan ke suatu daerah. Jadi ke depan saya pikir, apakah tidak lebih ideal kalau itu dicampur. Sehingga antara penduduk lokal bisa lebih cepat menyatu,” ucap Gamawan.

Akan tetapi, rencana pencampuran ini sudah diatur dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (2007) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia:

Pasal 8 1. Masyarakat adat dan warga-warganya memiliki hak untuk tidak menjadi target dari pemaksaan percampuran budaya atau pengerusakan budaya mereka. 2. Negara akan menyediakan mekanisme efektif untuk mencegah, dan mengganti kerugian atas: a). setiap tindakan yang bertujuan atau berakibat pada hilangnya keutuhan mereka sebagai kelompok masyarakat yang berbeda, atau nilai-nilai budaya atau identitas etnik mereka; b) setiap tindakan yang bertujuan atau berakibat pada pencerabutan mereka dari tanah, wilayah, atau sumber daya mereka; c) setiap bentuk pemindahan penduduk yang bertujuan atau berakibat pada pelanggaran atau pengurangan hak mereka apapun; d) setiap bentuk pencampuran atau penggabungan paksa; e) setiap bentuk propaganda yang dirancang untuk mempromosikan atau menghasut diskriminasi rasial atau etnis yang ditujukan langsung untuk melawan mereka.

Melindungi Masyarakat Tempatan

Pemerintah memandang transmigrasi sebagai langkah penting dalam pemerataan kesejahteraan dan membuka ruang-ruang pertumbuhan ekonomi baru. Namun demikian, yang tak kalah penting adalah menyelaraskan hubungan antara pendatang dan masyarakat tempatan, sekaligus memberi perlindungan masyarakat bumiputera untuk bisa berkembang. Bagaimanapun juga mereka telah lebih dahulu menjadi penduduk daerah tersebut, jauh lebih lama daripada pendatang, dan jauh sebelum negara Indonesia, yang memindahkan penduduk luar ke tanahnya, ada.

Daerah otonomi khusus seperti Papua memiliki konsep perlindungan warganya yang terakomodasi di dalam Peraturan Tata Tertib Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dibentuk pada November 2005. Dalam poin-poin yang terdapat di dalam peraturan tersebut, dengan jelas disebutkan tentang keterwakilan masyarakat asli Papua untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu. Hal ini dimaksudkan supaya penduduk bumiputera tidak terdominasi oleh pendatang. Dengan berbagai macam program pengembangan infrastruktur yang digalakkan pemerintah seperti MP3EI, dapat dipastikan arus migrasi akan mengalir kian deras ke Papua.

Menurut Ichwan daerah-daerah lain, terutama daerah yang selama ini menjadi ‘tanah seberang’ yang didatangi oleh ‘orang-orang seberang’, hanya bisa berharap kepada penguatan tokoh-tokoh adat.

“Tokoh-tokoh adat tetap diperlukan perannya, kecerdasannya, bukan hanya sebagai pendamai ketika ada konflik saja, tapi juga membangun identitas, ikut memberi solusi untuk masalah terkait kesejahteraan,” ucap Ichwan.

Penulis: Fajar Riadi

Editor: Tengku Muhammad Dhani Iqbal

Dimuat di LenteraTimur.com pada 7 November 2012

Leave a comment