Siasat Jerat (terhadap) Adat

“Kini, separuh dari seratus tahun setelah kematian Van Vollenhoven, pemerintah birokrat yang hari ini duduk di Buitenzorg dan Batavia terus mencoba mendapatkan modal asing dan investasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam di kepulauan ini. Petani pun kehilangan jaminan atas tanah mereka.”

Pandangan ini dikemukakan oleh Peter Burns sebelum menutup esai panjangnya yang berjudul “The Myth of Adat”. Esai 127 halaman yang dimuat dalam Journal of Legal Pluralism Nomor 28 Tahun 1989 ini merupakan kritik tajam terhadap idealisme dan praktik dari konsepsi adat yang dirumuskan oleh Cornelis Van Vollenhoven. Vollenhoven adalah nama yang niscaya disebut dalam setiap pembahasan hukum adat di Indonesia.

Burns sendiri adalah seorang peneliti kelahiran Australia yang mengajar di Indonesian Studies, James Cook University, Queensland Utara. Setelah menyelesaikan studi mengenai Indonesia di Melbourne University, Burns dikenal sebagai seorang ahli Indonesia yang sangat produktif. Tak hanya itu, Burns juga aktif dalam organisasi di bidang hak azasi manusia, Amnesty International. Tak heran, argumen ‘self identification’ dan ‘self determination’ yang merupakan salah satu hak azasi manusia, menjejak kuat dalam kritik Burns terhadap Vollenhoven ini.

Meski telah berselang seperempat abad setelah kritik ini diterbitkan, di tengah arus wacana penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, pemikiran Burns ini menjadi relevan untuk dibaca kembali.

Logika Vollenhoven

Jauh sebelum Vollenhoven mengkaji soal adat di wilayah Nederland East Indies (India Timur Belanda atau biasa disebut India Timur/Hindia Belanda), masyarakat Melayu yang mayoritas mendiami wilayah-wilayah itu sudah menyeruakkan istilah ‘adat’ dalam berbagai pepatah dan petuah-petuahnya. Kata ‘adat’ sendiri merupakan jejak perjumpaan masyarakat Melayu dengan para saudagar dari jazirah Arab.

Dalam esainya, Burns mencermati bahwa kata ‘adat’ memang berasal dari bahasa Arab, ‘addah’, yang berarti ‘menjumlahkan, menghitung, menyebutkan satu-satu, mengingat’. Dari sinilah makna ‘adat’ kemudian mengandung pengertian ‘pengulangan’ atau ‘kebiasaan’ (common/custom).

Istilah ‘adat’ lalu berkembang untuk menamai segala kebiasaan yang bersifat (dan kemudian dianggap) lokal. Ia juga dilekatkan pada identitas komunal dari para pelaku kebiasaan tersebut. Adat pun kemudian dimaknai sebagai identitas asal.

Burns menulis bahwa berdasarkan makna inilah Vollenhoven menganggap adat sebagai suatu identitas yang kodrati, esensial, romantis, dan idealis. Dengan demikian, bagi Vollenhoven, aspek “kemurnian” menjadi sesuatu yang wajib dalam adat. Dalam kajian hukum adat di wilayah yang kini menjadi Indonesia, Vollenhoven pun mengalaskan aspek “kemurnian” ini untuk memberikan dua batas utama dalam mendefinisikan konsep ‘adat’ di bawah ini.

Pertama, dengan alasan bahwa adat semestinya adalah sesuatu yang murni, Vollenhoven ingin membatasi bahwa nilai-nilai hukum yang terdapat dalam komunitas masyarakat adat bukanlah yang telah bercampur dengan nilai dan hukum Islam. Kalaupun ada, itu hanya terbatas pada beberapa hal saja, misalnya, hukum waris. Dan, itu pun hanya dibatasi pada beberapa wilayah saja.

Kedua, nilai-nilai hukum adat itu haruslah nilai yang betul-betul digali dari masyarakat setempat. Jadi, menafikan nilai-nilai pribumi dan menggantikannya dengan nilai atau hukum asing sama saja dengan menafikan kehidupan mereka sendiri.

Burns memandang bahwa dua inti pemikiran Vollenhoven di atas mengandung kelemahan mendasar. Kelemahan itu pertama-tama justru ada pada posisi identitas Vollenhoven sendiri. Burns mengkritisi posisi Vollenhoven yang berasal dari luar komunitas namun memberikan batas-batas definisi mengenai nilai-nilai yang berlaku dalam komunitas di luar dirinya. Bukankah semestinya yang menentukan mana yang adat dan mana yang bukan adalah masyarakat itu sendiri, dan bukan pihak luar semacam Vollenhoven? Hal ini menurut Burns adalah paradoks tersendiri dari aspek ‘kepribumian’ yang disyaratkan Vollenhoven dalam kategorisasi adat.

Kelemahan lain yang dilihat oleh Burns adalah ketika konsepsi adat ala Vollenhoven ini pada praktiknya justru dijadikan sebagai alat bantu untuk kolonialisme yang dilakukan Belanda ketika itu.

“Esai ini menjelaskan bagaimana kekuasaan kolonial itu sendiri akhirnya memberikan kontribusi terhadap pengembangan rasa identitas di wilayah operasionalnya. Penggalian terhadap adat pada awalnya dilakukan dengan komitmen intelektual dan etis oleh sekelompok cerdik pandai Belanda untuk mengamati, merekam, dan memproses data tentang kebiasaan dan nilai-nilai penting hukum dalam masyarakat yang beragam di India Timur Belanda. Namun, data-data ini kemudian ditafsirkan sebagai refleksi lokal khas pola pan-Indonesia. Pola pan-Indonesia ini mengandung ide metafisika tunggal. Ide sentral inilah yang kemudian menjadi referensi khusus untuk pembahasan mengenai hak atas tanah dan penyelesaian kerusuhan sosial bagi pemerintah kolonial,” tulis Burns.

Istilah ‘pan-Indonesia’ yang digunakan Burns ini dapat didalami maknanya secara etimologis. Imbuhan ‘pan-‘ berasal dari singkatan yang diserap dari kata Yunani ‘panacea’ yang berarti ‘obat segala penyakit/penyembuh yang universal’ atau ‘panoply’ yang berarti ‘persenjataan lengkap’. Aspek ‘universal’ dan ‘lengkap’ dalam makna-makna tersebut menyiratkan adanya nuansa makna penggabungan; yakni proses mengumpulkan apa-apa yang bersifat plural menuju ke satu kelompok yang singular. Dan demikianlah pula makna yang tersemat dalam kata ‘pan-Indonesia’.

Cara pandang pan-Indonesia ini, menurut Burns, adalah sebuah warisan cara berpikir kolonialisme Belanda. Keberagaman identitas di India Timur Belanda adalah hambatan tersendiri bagi Belanda untuk menentukan kepastian hukum guna melancarkan pemerintahannya. Dengan adanya kajian hukum adat Vollenhoven, hambatan tersebut dicoba untuk diretas. Di sini Burns melihat bahwa pemerintah Belanda mengambil manfaat dari kajian Vollenhoven yang pada awalnya secara ilmiah bertujuan untuk merekognisi hukum-hukum adat di wilayah tersebut.

Dengan berbekal kajian hukum adat Vollenhoven, masih menurut Burns, pemerintahan Belanda akhirnya dapat meregulasi ulang hak atas tanah milik pribumi. Regulasi itu dilakukan dengan penyesuaikan antara hukum adat yang berlaku di masyarakat dengan kepentingan kolonial. Jadi, alih-alih menegakkan pemberlakuan hukum adat setempat, hasil kajian Vollenhoven justru dijadikan alas berpikir untuk penyesuaian hukum-hukum ini ke dalam bentuk hukum yang menguntungkan bagi pihak kolonial.

Dalam hal inilah Burns melihat ada inkonsistensi antara idealisasi konsep hukum adat Vollenhoven dengan praktik yang terjadi. Burns memaparkan bahwa konsepsi ‘adat’ ala Vollenhoven akhirnya tak dapat dilihat sebagai sesuatu yang secara objektif ditemukan. ‘Adat’ akhirnya hanya menjadi istilah dengan pengertian yang diciptakan oleh watak kepentingan kolonialisme Belanda melalui tangan Vollenhoven. Latar dari praktik semacam ini kemudian dipaparkan oleh Burns di bawah ini.

“Bagian akhir esai ini menawarkan penjelasan mengenai ketidaksinambungan antara praktik dan ideal. Keberadaan hukum adat yang berlaku pada wilayah-wilayah di Indonesia semestinya ditinggikan derajatnya tanpa ada kepentingan administrasi apa pun dan juga tanpa pengaruh akademisi-akademisi Belanda ketika itu. Adat telah menjadi justifikasi bagi kehadiran akademisi-akademisi itu, termasuk juga keterlibatan mereka dengan pemerintahan kolonial dahulu. Saya tidak ingin mengatakan bahwa ini adalah hal yang diniatkan/disengaja. Namun, sikap macam ini seperti sudah menjadi bagian dari watak kaum Eropa pada umumnya kepada kaum Asia dan budayanya. Edward Said menamakan ini sebagai ‘orientalisme’.”

Bagi Burns, orientalisme yang disebut dalam kutipan di atas adalah musabab utama dari kelemahan praktik kajian Vollenhoven mengenai konsepsi adat di India Belanda. Orientalisme telah dikenali sebagai paham yang cenderung menjadikan manusia sebagai objek studi belaka. Ada hasrat kuasa yang bersembunyi di balik paham orientalisme.

“Kaum orientalis memperlakukan orang Asia sebagai objek penelitian. Bagaimana pun juga ada semacam motif yang dibisukan (mute motive) di balik studi Asia semacam ini, yakni kontrol: kontrol terhadap komunitas, komoditas, pun perdagangan,” tegas Burn.

Burns menilai bahwa pemahaman Vollenhoven pada adat yang berakarkan pada ideologi orientalisme ini sangat dipengaruhi oleh aliran pemikiran hukum romantis humanis Eropa. Aliran tersebut dikenal sebagai mazhab Historical School yang dipimpin oleh Karl Friedrich Von Savigny pada pertengahan abad ke-19.

Mazhab hukum romantis ini menginduk pada sebuah konsepsi Jerman tentang esensi jiwa masyarakat pribumi (volksgeist) yang dibayangkan pernah ada di Eropa sebelum kekuasaan Roma. Hukum adat itu, kata Savigny, ist und wird mit dem volk, mewujud di tengah-tengah bangsa dan dirasakan rakyatnya setiap hari. Dalam pemahaman itu, hukum adat dipercaya dapat tegak tanpa istilah undang-undang, unifikasi, pun kodifikasi.

Akan tetapi, upaya mazhab Historical School untuk menemukan sistem hukum yang berasal dari volksgeist di Jerman kala itu tidaklah berhasil. Gagalnya pencarian volksgeist di Eropa ini kemudian merangsang para pemikirnya untuk mencarinya di wilayah lain. Untuk memenuhi hasrat intelektualnya, Vollenhoven pun bermaksud untuk mengalihkan pencariannya ke wilayah operasional Belanda di India Timur.

Gayung ternyata bersambut. Ratu Wilhelmina yang naik tahta pada tahun itu memang tengah mengumumkan kebijakan Politik Etis pada 17 September 1901.

Politik etis ini bermula dari seorang ahli hukum idealis, Van Deventer, melalui esainya “A Debt of Honor” di tahun 1899. Esai itu memiliki poin: Belanda semestinya mempunyai komitmen dan kewajiban moral atas daerah-daerah jajahannya di India Belanda setelah era eksploitatif Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Dagang Kerajaan Belanda untuk India Timur di masa sebelumnya.

Salah satu implikasi di bidang hukum dari politik etis adalah pemberlakukan kodifikasi hukum. Dalih dari upaya kodifikasi ini adalah agar masyarakat pribumi menjadi lebih “teratur”. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Burns di atas, upaya ini akhirnya harus dibaca sebagai strategi untuk melancarkan teknik pemerintahan Belanda terhadap masyarakat India Timur yang hidup berpencar.

Belanda kala itu beroperasi di dalam wilayah yang terdiri dari negara-negara (states) berbentuk kesultanan, baik besar maupun kecil, yang utamanya bercorak Islam dan tersebar di berbagai wilayah pesisir. Dan sebuah negara, bagaimanapun kecilnya, memiliki kedaulatan untuk menggunakan hukumnya sendiri.

Kebijakan pemberlakuan hukum Islam di wilayah ini tak pernah mengalami gangguan berarti sampai kemudian Christian Snouck Hurgronje, seorang Belanda, memperkenalkan istilah dan pengertian adatrecht (hukum adat) pada 1893. Dari penelitiannya di negeri Aceh, Snouck berkesimpulan bahwa hukum Islam yang diberlakukan di Aceh bukanlah hukum Islam murni, melainkan hukum Islam yang telah diterima oleh hukum adat. Dari sini dia kemudian menciptakan, dan menjadi terkenal, dengan teori receptie. Dalam teorinya dia menyebutkan bahwa hukum Islam yang dapat diberlakukan oleh pemerintah hanyalah hukum Islam yang telah diresepsi oleh hukum adat setempat.

Akan tetapi pengertian Snouck menjadi paradoks. Adat (al-‘addah) dalam perbendaharaan hukum Islam sendiri dikenal dengan istilah hukm al-‘addah (ruling of the tradition) atau dalam istilah yang lazim disebut al-‘urf (use, custom, tradition). Dengan demikian, adat dipandang sebagai salah satu sumber komplementer hukum Islam. Artinya, hukum adat dalam pengertian ini telah senyawa dengan hukum Islam itu sendiri.

Snouck lalu dianggap sengaja menggunakan pengertian adatrecht yang baru sama sekali untuk mengalihkan perhatian dari hukum Islam yang diyakini oleh mayoritas penduduk. Burns menyebutkan bahwa Snouck, belakangan, diketahui memang mempunyai agenda terselubung sebagai perpanjangan tangan Belanda.

Teori adatrecht inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh Vollenhoven ketika menginjakkan kaki di wilayah operasional Belanda ini. Murid-murid Vollenhoven dari Leiden kemudian bekerja dengan administratur Belanda di India Timur untuk merumuskan konsepsi tentang adat dan hukum-hukumnya. Mereka mencari dan berupaya melakukan kodifikasi, bahkan juga sampai menetapkan kategori siapa itu masyarakat hukum adat dan siapa yang bukan. Untuk lebih mendukung inti kajiannya ini, mereka pun membagi hukum di wilayah yang mereka sebut sendiri sebagai India Belanda ke dalam sembilan belas lingkungan hukum adat.

Namun, hingga masa pendudukan Jepang, pada 1942, upaya kodifikasi ini tak kunjung berhasil. Faktor terlalu luasnya dan begitu beragamnya wilayah yang menjadi objek kajian adalah salah satu alasan dari ketidakberhasilan ini. Dan, di sisi lain, kodifikasi hukum-hukum adat yang beragam ini kemudian justru ditakutkan dapat menjadi senjata makan tuan bagi pemerintah Belanda yang sesungguhnya memimpikan unifikasi hukum.

Burns menyebutkan bahwa kondisi ini semestinya disikapi dengan lebih kritis oleh Vollenhoven dan para akademisi kala itu. Karena, jika dibaca dari sudut pandang kolonialisme, mimpi unifikasi adalah hal yang wajar. Sebab, dengan unifikasi hukum, maka segala regulasi transaksi hasil sumber daya alam kala itu tentunya akan menjadi lebih mudah. Namun, semestinya, seorang akademisi mesti terbebas dari itikad-itikad politis semacam itu.

Mewaris

Dalam menerapkan kajian mengenai adat di India Timur, Vollenhoven sendiri memiliki murid dari kalangan orang kulit coklat. Soepomo namanya. Melalui muridnya inilah paradigma adat dari Vollenhoven diperkuat dalam penyusunan konstitusi negara baru bernama Indonesia yang wilayahnya mengikuti jejak wilayah operasional Nederland East Indies.

Perancangan negara baru ini sendiri dilakukan pada waktu pendudukan Jepang di masa-masa kepergian Belanda usai dekolonisasi yang tak mulus. Dan Soepomo menjadi salah satu ahli hukum tata negara baru ini, yang juga pernah bekerja menjadi salah satu kerani pemerintah India Belanda.

Setelah proklamasi Negara Republik Indonesia (NRI) yang dilakukan oleh Soekarno-Hatta pada 1945, Soepomo pun membuat abstraksi agar adat dimasukkan sebagai bagian dari ideologi nasional. Visi Seopomo tentang ‘jati diri Indonesia’ akhirnya diterima dengan menjadikan adat sebagai ideologi dan mitos sakral nasional.

Dalam interpretasi bebas Soepomo, yang diwarisinya dari Vollenhoven, adat dibayangkan sebagai sesuatu yang stabil, koheren, otonom, dan merupakan hasil konsesus lokal yang homogen yang khas. Wacana simplistis ini menyediakan landasan imajinasi Kepulauan Indonesia sebagai sebuah wilayah kultur koheren dan dengan itu juga dapat dimaknai suatu bangsa yang koheren oleh Soepomo dan para nasionalis Indonesia.

Soepomo menggunakan konsepsi adat ala Vollenhoven yang mengagungkan kemurnian dan kolektivisme untuk dilekatkan pada entitas baru bernama Indonesia. Di sini, Soepomo menggunakan logika kolonial pemerintah Belanda yang memimpikan unifikasi. Unifikasi ini sendiri sebetulnya bisa jadi bukan merupakan logika utama Vollenhoven sebagai akademisi. Burns pun menyebutkan bahwa konsepsi adat Vollenhoven akhirnya “berderap ke arah yang salah.”

Kala itu (masa Indonesia), menurut Burns, banyak pusat-pusat kekuatan lokal, pengadilan raja dan sultan, atau istana, telah tak berfungsi sebagai pengampu kursi pemerintahan dan aturan penegakan hukum adat di wilayahnya masing-masing. Akan tetapi, Burns tak menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Alhasil, karena tak ada lagi otoritas tempatan, maka konsepsi adat yang baru dari Soepomo ini pun terwarisi dengan sangat kuat dan terus mengarus hingga kini. Burns memandang bahwa pewarisan konsep adat supralokal atau nasional semacam inilah yang amat perlu untuk dikritik.

Konsepsi warisan Vollenhoven yang diadopsi Soepomo ini juga dikenal sebagai paham integralistik. Padahal, secara objektif, Burns tidak melihat bahwa adat dapat menjadi dasar ikatan yang kuat untuk menjadikan bekas wilayah operasional Belanda yang luas dan beragam ini sebagai suatu kesatuan wilayah yang dapat disebut ‘integral’.

Pada awal esainya, Burns menekankan bahwa salah satu kesulitan utama dalam pembentukan negara Indonesia adalah menentukan sebuah konsep yang dapat bersifat mempersatukan. Argumen kesamaan penggunaan bahasa Melayu sebagai pemersatu kala itu, menurut Burns, hanyalah bersifat sebagai sesuatu yang dijanjikan/diharapkan, namun tak dapat dianggap sebagai realitas langsung.

Burns juga tidak melihat adanya argumen ‘kesamaan nasib sebagai yang terjajah’ sebagai argumen yang kuat.

“Memang ada pengalaman umum yang memandang pemerintahan Belanda sebagai intrusi asing. Para pribumi bisa dengan cepat mengidentifikasi penguasa kolonial Eropa sebagai ‘mereka’ yang berbeda dari ‘kami’. Namun, bagaimanapun, pendekatan ini adalah pendekatan negatif untuk kebangsaan Indonesia. Pendekatan ini tidak memberikan jawaban positif atas pertanyaan yang secara alami muncul: siapa sebenarnya ‘kami’ yang menjadi lawan dari ‘mereka’?” tulis Burns.

Burns pun menganggap bahwa pandangan lain yang ingin menjadikan Islam sebagai alasan pemersatu adalah argumen yang lemah.

“Islam sebagai sebuah ideologi kebangsaan menjadi terlalu luas sekaligus terlalu sempit. Sebagai agama yang universal, Islam adalah supra-nasional,” ungkap Burns.

Di sisi lain, menurut Burns, jika Islam dijadikan sebagai landasan pemersatu, maka itu akan menciptakan persoalan serius bagi penduduk asli Kristen, warga Konghucu, dan pribumi pemeluk keyakinan lain yang juga hidup di wilayah Indonesia.

Sebagai argumen penanding, Burns kemudian menyandingkan pandangan lain yang disebutnya berupaya untuk mempromosikan ide Jawa sebagai landasan kebangsaan Indonesia. Burns menulis bahwa Jawa memang tercatat dalam sejarah sebagai wilayah administrasi Belanda selama tiga abad. Namun, hal itu tidak cukup untuk dijadikan dasar pemersatu.

“Konsep dasar Jawa tidak akan menggairahkan dan sangat mungkin bisa menjauhkan subjek-subjek lain di India Belanda,” jelas Burns.

Burns kemudian menegaskan bahwa jika memang negara baru itu harus ada, maka yang dibutuhkan sesungguhnya adalah konsep yang dapat merangkul seluruh wilayah koloni Belanda, yang mampu menandainya sebagai suatu entitas yang berbeda dari seluruh dunia, namun, pada saat yang sama, mengintegrasi secara internal.

Kesenjangan ideologi inilah yang dibaca oleh Burns sebagai sesuatu yang coba diisi oleh konsep adat ala Vollenhoven oleh Soepomo. Soepomo mengimajinasikan adanya adat yang menjadi pengikat seluruh masyarakat di bekas wilayah operasional Belanda. Imajinasi semacam inilah yang kemudian dipandang oleh Burns sebagai sebuah mitos. Pada abad 20-an, mitos semacam ini dianggap sebagai sesuatu yang efektif.

“Saya menggunakan istilah ‘mitos’ untuk merujuk pada sebuah keyakinan yang diterima begitu saja. Bisa jadi keyakinan itu terkait dengan masa lalu, atau terkait dengan alam, hukum, kewajiban, atau konsep keindahan. Dalam mitos, apakah keyakinan ini adalah sesuatu yang benar atau tidak, bukanlah sesuatu yang relevan lagi. Mitos berfungsi untuk mengatur alam pikiran dan kehidupan manusia. Mitos yang efektif terasa begitu lekat dan tak mudah untuk ditinggalkan. Mitos menjadi sumber dari aksioma dan pendapat umum. Sebagai ilustrasi, institusi negara modern adalah contoh bagaimana mitos dapat bekerja dengan sangat persuasif (dan juga sangat kuat) pada masa abad 20-an,” jelas Burns.

Namun Burns kemudian menjelaskan bahwa mitos adat sebagai konsepsi yang menasional ini sesungguhnya tidaklah akan dapat digunakan secara luas atau secara intensif dalam perdebatan politik Indonesia dalam waktu yang lama. Burns menulis bahwa alih-alih menjadi sebuah kesatuan yang mengabadi sebagai kebudayaan nasional, pembahasan adat pasti hanya akan selalu berakhir di wilayah masing-masing.

Adat hanya berfungsi sebagai senjata ideologis yang berguna bagi nasionalis unitaris macam Soepomo dalam melegitimasi pembentukan negara, tapi pada akhirnya, seperti gagasan Islam dan gagasan Jawa, gagasan adat akan bersifat terlalu terbatas. Burns bahkan melihat bahwa dalam konteks Indonesia kini, istilah adat hanya akan dipakai jika ia dianggap memiliki kegunaan idelogis untuk memperkuat identitas nasional. Namun, sesungguhnya, dalam praktik, nilai-nilai hukum dari adat-adat itu sendiri sebetulnya akan selalu bertentangan dengan kepentingan nasional . Hal ini dinyatakan oleh Burns seperti di bawah ini.

“Dalam Republik Indonesia, negara penerus Nederland East Indies, adat secara umum akan diterima pada posisi yang terhormat jika ia sejalan dengan kepentingan ideologis. Namun, nilai-nilai hukum dari adat tersebut tidak akan digunakan jika dianggap berlawanan dengan kepentingan pemangku kekuasaan nasional.”

Burns menjelaskan bahwa konsep adat Vollenhoven dan kawan-kawannya di Leiden ini adalah “kontradiksi yang tak terucapkan tapi tak terhindarkan” dari keberlakuan hukum dalam sebuah otoritas yang berwatak kolonial. Konsep adat Vollenhoven telah gagal dalam menciptakan keadilan di masyarakat. Dia pun memberikan refleksi atas kondisi masyarakat di Indonesia saat ini.

“Sekarang, pemerintah pusat mendorong modal asing untuk mengembangkan sumber daya alam. Tetapi, kini hukum adat tidak berfungsi lagi sebagai senjata yang mungkin digunakan untuk melawan eksploitasi,” tulis Burns.

Burns kemudian menegaskan bahwa pihak otoritas di wilayah seluas dan seberagam Indonesia ini, baik itu pemerintah Belanda dahulu maupun pemerintah Indonesia kini, tidaklah akan dapat menjadikan konsepsi adat yang integral sebagai alas hukum nasional. Mengapa? Karena memang adat yang integral itu sendiri sesungguhnya tidak akan pernah ada karena pada realitanya adat yang hidup di Indonesia adalah adat yang tumbuh beragam, di tanah yang tersebar. Hal inilah yang membuat Burns menyematkan predikat ‘mitos’ pada konsep adat Indonesia saat ini.

Mitos ini terjadi, kata Burns, karena kajian Vollenhoven mengandung kesalahan mendasar dalam menggabungkan dua istilah ke dalam satu frase. Vollenhoven tidak mengantisipasi silang-sengkarut ide yang terkandung dalam istilah ‘kebiasaan (custom)’ dan ‘hukum (law)’ yang berkawin dalam frase hukum adat (custom law).

Secara tertib logika, pengertian adat sebagai kebiasaan, yang pada realitasnya begitu beragam, akan sulit untuk ditegakkan dalam sebuah sistem kepastian hukum (rule of law) yang terkandung dalam prinsip unifikasi hukum. Hal ini pun dijelaskan lebih lanjut oleh Burns dalam kutipan berikut.

“Asumsi yang perlu digarisbawahi dalam analisa saya adalah bahwa ‘hukum’ merupakan fenomena sosial yang harus dibedakan dengan ‘adat’. Konsep hukum secara intrinsik akan selalu terkait dengan konsep otoritas kedaulatan dalam suatu komunitas, dalam hal ini ia tidak boleh terpengaruh dengan pihak mana pun. Diamond pada tahun 1971 telah membedakan aturan hukum (the rule of law) dengan lawannya yang dia sebut dengan keteraturan adat (the order of custom). Walaupun konsepsi Diamond ini dikritisi sebagai sebuah simplifikasi dan tidak signifikan di dalam praktik, saya meyakini bahwa ide perbedaan semacam itu adalah sesuatu yang valid. Saya menggunakan ide itu dalam analisa saya bahwa mitos adat timbul dari upaya mengidentikkan adat dengan hukum,” tulis Burns.

Dalam kutipan tersebut Burns berbicara mengenai pentingnya peran otoritas dalam pemberlakuan hukum. Burns pun mengingatkan dalam penulisan awalnya, bahwa Van Vollenhoven sendiri pernah menyatakan, “Di mana tidak ada otoritas yang siap dan mampu untuk menegakkan kepatuhan terhadap aturan, maka tidak akan ada hukum.” Hal inilah yang mesti dicermati untuk mendudukkan persoalan hukum adat pada tempatnya. Karena, pada realitanya, otoritas adat saat ini bukanlah otoritas yang menegak dan berdaulat. Sehingga, wajar jika timbul pertanyaan, di bawah sebuah pemerintahan yang bersifat supralokal seperti Indonesia, apakah hukum adat bisa diterapkan tanpa otoritas adat?

Burns kemudian memberikan saran, supaya mitos adat ini dapat dibongkar sehingga keadilan kembali dapat diakses oleh masyarakat di Indonesia, perlu dibuat suatu kerangka kerja intelektual untuk memahami pemikiran Vollenhoven dan para pengikutnya, baik prestasi kreatif dan keterbatasannya.

Burns betul-betul menggarisbawahi bahwa membatasi adat hanya sebagai kebiasaan tanpa menerapkan aturan-aturannya sebagai hukum hanya akan menjadikan adat sebagai mitos. Sementara, untuk penerapan aturan adat sebagai hukum formal, dibutuhkan otoritas kekuasaan yang berdaulat, menegak dari masyarakat itu sendiri. Prinsip inilah yang disebut Burns sebagai ‘embryonic principle of territorial sovereignity’.

“Dengan tidak adanya otoritas monarki yang efektif atau aparat kelembagaan negara modern, masyarakat adat hanya akan dipahami sebagai proto-bangsa. Namun, jika pretensi mereka dibiarkan berkembang, mereka akhirnya akan menemukan ekspresi dalam proklamasi kemerdekaan teritorial. Di sanalah, menurut status hukum, terkandung hak-hak atas mereka. Dan itu adalah akhir yang tak terelakkan dari proses,” tulis Burns.

Akhirnya, sebagai renungan di ujung tulisannya, Burns menggambarkan bahwa mitos adat warisan Vollenhoven hari ini telah mengantarkan puak-puak di Indonesia pada posisi yang lemah di bawah ketidakadilan. Kondisi tersebut digambarkan Burns sebagaimana dapat dibaca pada paragraf pertama dari tulisan ini.

Dan, dalam kalimat penutupnya, Burns pun memberikan penegasan.

“Indonesia yang merdeka membutuhkan Van Vollenhoven-nya sendiri untuk menghentikan ketidakadilan ini.”

Reporter/Penulis: Ken Miryam Vivekananda

Editor: Tengku Muhammad Dhani Iqbal

Dimuat pertama kali di Lenteratimur.com pada Oktober 2014

Leave a comment