Ethnic Runaway: Mencintai Indonesia dengan Jijik

Pada 6 Januari 2011, Trans TV menyampaikan permohonan maaf tertulis kepada Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Permohonan maaf tersebut—yang lahir setelah diprotes banyak pihak termasuk Remotivi—terkait dengan nama tayangan yang diproduksi oleh stasiun tersebut, Primitive Runaway. Sejak itu, istilah “primitive” diganti dengan “ethnic”. Dari “primitif” ke “etnik”. “Ethnic Runaway”.

Dalam surat tersebut, Trans TV menyatakan bahwa sebagai media televisi nasional, pihaknya menjunjung tinggi nilai-nilai dari kebudayaan-kebudayaan lokal yang ada di Indonesia. Harapannya adalah dapat menumbuhkan pengetahuan dan kecintaan terhadap budaya bangsa Indonesia. Cara menumbuhkan kecintaan itu adalah dengan melibatkan masyarakat dari latar belakang yang berbeda untuk saling berinteraksi hingga dapat menghargai perbedaan.

Ada tiga hal yang menjadi kunci dari surat yang saya cuplik di atas, yakni “televisi nasional”, “menjunjung nilai kebudayaan”, dan “menumbuhkan pengetahuan dan kecintaan terhadap budaya bangsa Indonesia”. Ketiga hal tersebut akan menjadi pegangan dalam melihat tiga tayangan “Ethnic Runaway”, yakni episode 24 September dan 1 Oktober 2011 di Kepulauan Bangka Belitung serta 2 Oktober 2011 di Sulawesi Selatan.

Televisi Nasional 

Dalam khazanah kebudayaan, ada adagium bahwa tak ada siapapun yang dapat melepaskan diri dari pengaruh kebudayaan tertentu. Setiap pikiran atau tindakan individu selalu ada dalam kerangka kebudayaan di lingkungannya, dalam lekak-lekuk yang relatif. Namun hal ini bisa tak berlaku jika seumur hidupnya seseorang tak pernah berinteraksi dengan siapapun dan apapun, macam selalu berada dalam peti sempit.

Pada saat yang sama, “Ethnic Runaway” adalah tayangan yang membawa dua bintang hiburan televisi, lelaki dan perempuan, dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia. Artinya, tentu saja, tayangan ini akan mempertontonkan perjumpaan antara dua kebudayaan, yakni kebudayaan si bintang hiburan dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada.

Pada episode 24 September 2011, bintang hiburan tersebut adalah Chika Jessica dan Vicky Nitinegoro. Keduanya, yang masing-masing lahir di Bandung (Jawa Barat) dan Jakarta, mendatangi Kepulauan Bangka Belitung, tepatnya di Dusun Pejem pada komunitas yang disebut Suku Lom. Sementara, pada episode 1 Oktober 2011, bintang hiburannya adalah Five V dan Kiwil. Keduanya, yang masing-masing lahir di Surabaya (Jawa Timur) dan Jakarta, juga mendatangi Kepulauan Bangka Belitung, tepatnya di Bangka Selatan pada Suku Pongok. Dan pada episode 2 Oktober 2011, bintang hiburan yang muncul adalah Stuart Collin dan Ryana Dea. Mereka, yang masing-masing lahir di Inggris dan Bengkulu, mendatangi Sulawesi Selatan, tepatnya Sinjai pada Suku Karampuang.

Meski lahir di tempat yang berbeda-beda, keenamnya merupakan orang yang berdomisili di Jakarta. Saat berjumpa dengan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, keenamnya tampak betul bersandar pada identitas kejakartaan. Hal ini terlihat dari berulangkalinya bintangbintang hiburan itu menyebut Jakarta sebagai perbandingan kala berinteraksi atau menemukan sesuatu yang baru buat mereka di kawasan yang dikunjungi.

“Ooo… Itu cupang. Vi,” kata Kiwil pada Five. “Kalau di Jakarta namanya kerang. Di sini namanya cupang.”

Atau, Ryana yang tertawa geli kala menemukan makanan yang namanya berbeda.

“Kalau di Jakarta, kita kan ngomongnya dodol ya,” kata Ryana kepada pemirsa. “Kok di sini dodor sih, hahaha.”

Tak hanya ketika berjumpa dengan sesuatu hal para bintang hiburan ini merujuk ke Jakarta. Tetapi, istilah-istilah khas kota itu juga berhamburan di sini. Sebut saja “dong”, “banget”, atau logat-logat yang terdengar amat kental dan asing bagi masyarakat setempat.

Dari hal-hal semacam ini saja, istilah “televisi nasional” sudah problematik. Di mana letaknya entitas “nasional” itu dalam program “Ethnic Runway”? Apakah “nasional” itu adalah Jakarta semata? Jakarta yang bertemu dan berinteraksi dengan bermacam kebudayaan untuk kemudian dikemas sebagai upaya menghargai perbedaan yang ada? Ajakan menghargai itu ditujukan kepada siapa sebetulnya? Atau, mengingat stasiun ini menggunakan ranah publik, maka apakah yang disebut nasional itu adalah jangkauan siarnya belaka – betapapun kontennya amat bercitarasa lokal Jakarta?

Jika ya, maka hal ini memiliki dua implikasi. Pertama, stasiun televisi gratisan ini menciptakan Jakarta sebagai subjek dan luar Jakarta adalah objek. Kedua, hal itu menjadikan stasiun televisi susah untuk dikritik atau mendapat hukuman dari pasar/masyarakat.

Pada implikasi kedua, hal itu terjadi karena tidak adanya interaksi bisnis langsung antara produsen (stasiun televisi) dengan pembeli (masyarakat). Kedua pihak itu diantarai oleh lembaga pemeringkat melalui praktik kuantifikasi (rating dan share). Alhasil, setiap kritik kualitatif akan ditangkis dengan pernyataan apakah Anda mewakili masyarakat yang bersangkutan? atau apa ukuran kritik kualitatif?. Jika pun masyarakat serius dalam mengkritik, maka ia harus bersusah payah mengajukan langkah hukum atau berbagai jenis aksi lain. Kalaupun mau melakukan aksi boikot, itu harus mengena pada mereka yang menjadi responden lembaga pemeringkat tadi, tepatnya mereka yang memegang peoplemeter (yang keberadaannya dirahasiakan).

Bandingkan dengan stasiun televisi berbayar. Jika tidak menyukai sebuah program, apalagi ditayangkan secara berturut-turut, masyarakat dapat menghukum stasiun televisi yang bersangkutan dengan cara menghentikan langganan. Di sini, mekanisme hukuman pasar dapat berlaku.

Menjunjung Nilai Kebudayaan

Secara sederhana, gambaran dari frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan yang ada di Indonesia” adalah mewujudkan nilai-nilai dari suatu kebudayaan dalam keseharian. Tak hanya itu, menjunjung nilai juga berarti menghadirkan situasi dan kondisi di mana kebudayaan-kebudayaan tersebut memiliki peluang dan kesempatan yang sama, dengan siapa pun dan apa pun, untuk tumbuh dan berkembang.

Dalam “Ethnic Runaway”, praktik menjunjung nilai kebudayaan tersebut dilakukan dengan melecehkannya. Adegan demi adegan menampilkan mimik muka yang jijik pada sesuatu, entah itu makanan atau kerja-kerja di sawah, betapa pun di sekeliling mereka adalah penduduk yang sehari-hari mengalami hal tersebut.

“Geli banget,” kata Ryana di tengah sawah.

“Aduh, cobain enggak ya?” kata Five ketika hendak memakan cupang.

“Mamak, maaf ya. Ini mau berak,” kata Chika pada seorang ibu. Ia baru saja kentut di depan sejumlah penduduk.

“Pemirsa, beginilah tradisi Suku Lom. Mereka menyikat gigi dengan menggunakan lumpur. Mungkin bagi saya, Chika, bahkan pemirsa, pasti bakalan merasa jijik. Atau yang ada gigi kita malah tambah kotor (gambar: close up seorang ibu yang menggosok gigi dengan lumpur). Namun inilah yang terjadi di keseharian di Suku Lom,” kata Vicky.

Kecintaan Terhadap Budaya Bangsa Indonesia 

Dalam menumbuhkan apa yang disebut “pengetahuan dan kecintaan terhadap budaya bangsa Indonesia”, “Ethnic Runaway” punya caranya yang khas. Pada episode 24 September 2011, misalnya, kala bintang-bintang hiburan itu sedang beraksi di Pejem, musik latar yang diputar adalah “Piso Surit” yang diaransemen oleh Vicky Sianipar.  Dalam benak produser, barangkali, adalah cocok atau pas untuk menampikan musik dari tanah Batak di tanah adat Pejem di Kepulauan Bangka Belitung. Ini kira-kira sebanding kala membahas Mesir tapi dengan latar belakang musik Irlandia.

Upaya “menumbuhkan cinta terhadap budaya bangsa Indonesia” juga dilakukan dengan beragam cara lain. Di antaranya, katakanlah, memasangkan sesuatu kepada penduduk atau menyamakan suatu perilaku dengan badut.

“Kayaknya lucu juga nih pemirsa… Lagi gue kasih lagu Justin Bieber,” kata Vicky setelah memasangkan headphone di kepala seorang penduduk Pejem.

“Abis ini ngebadut di Ancol…. Aduh… hu hu hu…,” ujar Kiwil saat tubuhnya sedang dilumuri bedak atau tepung oleh sejumlah penduduk.

“Bayangin ajamasak abis dari sawah, direbus tanpa dicuci, terus dapat dibuka-buka dalemnya… Eh, dalemnya lu enggak liat ini yang item-item, ini kotorannya. Ini coba makan. Coba… coba… coba…,” sambil berkata demikian, Stuart menyorongkan tangan kirinya, dengan memaksa, kepada seorang penduduk untuk memakan siput.

Cara mencintai kebudayaan Indonesia ala “Ethnic Runaway” belum selesai. Masih ada lagi. Cara lainnya adalah dengan mengganti bahasa Indonesia dengan bahasa Indonesia. Bingung? Ya, memang membingungkan.

Saat diajarkan menggunakan “kereta sorong” oleh penduduk Suku Pongok, Kiwil menerjemahkan benda yang dimaksud adalah “gerobak kayu”. Kita jadi dibingungkan, apakah diksi “kereta” dan “sorong”, dan paduan keduanya, bukanlah bahasa Indonesia? Hal serupa juga tampak kala kiwil menerjemahkan “pacak” menjadi “bisa” dan “sotong” menjadi “cumi”. Pun, apakah “pacak” dan “sotong” tidak dikenal dalam bahasa Indonesia? Upaya menumbuhkan kecintaan yang unik ini membuat kita bertanya, dari mana sebetulnya bintang-bintang hiburan ini diambil? Mengapa bintang-bintang hiburan itu (dikonstruksi) begitu mentel, ganjen? Dalam kesusasteraan, ini dapat disebut lanturan, sesuatu yang tak diperlukan.

Selain itu—dan ini yang utama—“kecintaan terhadap budaya bangsa Indonesia” itu berasal dari siapa? Jika ada diksi “terhadap”, maka tentu harus ada diksi “dari”. Dan siapa “dari” yang dimaksud dalam “Ethnic Runaway”?

*

Jika ada pihak yang menyatakan akan menjunjung dan mencintai nilai kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia, apa yang terbayang? Tentu suatu upaya untuk menjadikan nilai tersebut menjadi keseharian secara fisik atau mental, atau menjaganya, dengan beragam cara, agar tak lenyap diterjang nilai lain.

Akan tetapi, Trans TV punya gayanya yang khas. Melalui “Ethnic Runaway”, stasiun lokal Jakarta ini menunjukkan junjungan dan cinta pada nilai-nilai masyarakat dengan cara menertawakan perbedaan, menjijikkan makanan, menganehkan pekerjaan.

Untuk menegaskan junjungannya itu, Ethnic Runaway menutup tayangannya dengan sesuatu yang mencirikan kekunoan atau keantikan. Setelah melalukan salam perpisahan dengan bintang hiburan, kamera mengarah ke sejumlah penduduk seraya memperlahankannya (slow motion) untuk kemudian dihentikan (pause) dalam sebuah bingkai hitam-putih. Tua. Antik. Komposisi hitam-putih selalu dipakai sebagai penanda atas sesuatu yang lampau dan klasik. Dan masa lampau tentu tak bergerak. Ia terkunci di zamannya.

Dan demikian pulalah teknik editing Ethnic Runaway mengkonstruksi masyarakat (adat) sebagai suatu identitas yang tak bergerak, yang akan demikianlah adanya ketika siapa pun mengunjunginya. Yang bergerak di sini adalah bintang-bintang hiburan dari Jakarta, bukan yang lain.

Kesan yang tak terhindarkan adalah, Jakarta, yang dikonstruksi melalui bintang-bintang hiburan, merupakan wilayah dengan kebudayaan yang dinamis, maju, dan kosmopolit (kumulatif). Adapun kawasan yang dikunjunginya adalah statis dan terisolir. Tapi, apa betul demikian?

Jika kebudayaan itu kita wujudkan pada sebuah rumah, maka yang dilihat adalah sekadar rumah kayu (atau gedung beton yang menjulang). Orang asing yang datang ke Indonesia, macam tayangan Ethnic Runaway ini, takkan dapat melihat konstruksi kultural pada bangunan, kecuali ia memiliki kecukupan intelijensia.

Pada rumah adat Karampuang yang sedang dibangun, misalnya, yang nampak pada episode 2 Oktober 2011, program ini tak melihatnya dari kebudayaan mana saja yang mempengaruhi atau makna segala ritualnya. Tetapi, ia melihatnya hanya dari hiruk pikuk dan gotong royong. Padahal, tanpa dibicarakan pun, gambar sudah dapat berbicara sendiri (dalam televisi, harus dihindarkan pengulangan antara apa yang ada di gambar dengan apa yang diucapkan. Tak perlu lagi mengatakan ada puluhan orang yang menggotong tiang kala gambar sudah berbicara hal yang sama).

“Tak ada kebudayaan yang benar-benar berdiri sendiri, tapi berkoalisi dengan kebudayaan-kebudayaan lain,” tulis Claude Levi-Strauss (2000).

Tanpa pengaruh mempengaruhi antar identitas, suatu kebudayaan atau masyarakat tentu sudah lama lenyap. Tiap-tiap kebudayaan membutuhkan penemuan-penemuan orang lain, periode-periode lain, kawasan-kawasan lain, pun nilai-nilai lain, untuk bertahan hidup. Artinya, menempatkan suatu masyarakat dalam kotak tak bergerak tidak saja suatu kekeliruan besar dan tindakan yang tak patut, tetapi juga mengindikasikan suatu wawasan yang amat terbatas.

Konstruksi sebagai identitas yang tak bergerak juga tampak dalam banyak adegan lain. Sebut saja ketika Kiwil mengatakan “masih tradisional sekali” kala melihat jangkar yang terbuat dari kayu, bukan besi, saat menaiki perahu di sungai dangkal. Ini mengesankan bahwa peradaban Kiwil telah melewati masa “jangkar kayu” dan kini sudah menggunakan “jangkar besi”.

Pertanyaannya adalah, yang mana peradaban Kiwil? Peradaban apa di Indonesia (ruang yang menjadi batas program) yang sudah menggunakan jangkar besi? Apakah peradaban yang ditandai dengan jangkar kayu sudah tidak ada di negeri ini, dan hanya penduduk Suku Pongok di Bangka Selatanlah yang menggunakannya?

Skema peradaban yang tersirat dari pernyataan Kiwil pada jangkar besi sebetulnya adalah ilusi. Jangkar besi yang dikenal di Indonesia bukanlah lompatan kemajuan dari jangkar kayu. Jangkar besi, katakanlah, merupakan tindakan peniruan belaka dari apa yang sudah ada, dan tentunya sezaman dengan yang tertiru. Jangkar besi sama sekali tidak menunjukkan sebuah kemajuan. Ia tergantung pada pilihan dan konteks ruang. “Perkembangan pengetahuan sejarah dan arkeologi cenderung dibeberkan dalam ruang dan bentuk-bentuk peradaban yang membawa kita berimajinasi seperti urut-urutan berjalannya waktu,” tulis Claude Levi-Strauss.

Begitu juga dengan kereta sorong yang digunakan oleh Suku Pongok. Teknologi yang digunakan tak dapat diartikan sebagai suatu ketertinggalan. Teknologi, sebagaimana umumnya, selalu dilahirkan oleh kebutuhan dan kemudian diwarnai oleh kebudayaan di mana teknologi itu berasal.

Pada Suku Pongok, yang lingkungannya kaya dengan pepohonan, jalannya yang tak beraspal, diselingi genangan air, dan dekat dengan pemukiman, kereta sorong adalah teknologi yang tepat. Kebutuhan mengantarkan potongan kayu diwarnai oleh kondisi setempat, yakni pepohonan yang mudah dijumpai. Alhasil, kereta sorong yang terbuat dari kayu dan dibuat sendiri oleh masyarakat Pongok tak pelak perwujudan dari kondisi kultural setempat.

“Maka kita tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa yang kita hadapi itu bukan teknologi in abstracto sebagai ide, melainkan teknologi in concreto, yang historis dan faktual tidak lain dari teknologi pengejawantahan mental dan kebudayaan.” (YB Mangunwijaya, 1983).

Sayang, tidak ada sedikit pun upaya yang terlihat untuk mengeksplorasi teknologi-teknologi yang dihasilkan masyarakat ini. Kejeniusan ini tak dikemas sedemikian rupa untuk dapat dijadikan tayangan inspiratif yang menghibur dan mencerdaskan bagi masyarakat luas – betapa pun teknologi asing yang dipunyai Trans TV sebetulnya amat memungkinkan untuk mengelaborasi macam-macam ide cerdas.

Selain menempatkan masyarakat ke dalam kotak statis, program ini juga didera dengan persoalan sopan santun. Seperti dalam tulisan pertama, banyak sekali adegan yang mencirikan suatu kejijikan atas sesuatu yang asing bagi diri si bintang hiburan.

Dalam tradisi Melayu di seluruh dunia, ada ungkapan “di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung”. Ada konstruksi lokal yang semestinya tak ditabrak oleh pendatang. Bahwa ada bintang hiburan tak suka dengan suatu makanan, ya. Tapi, ketika makanan itu direspons dengan mimik muka jijik, bahkan diucapkan bahwa itu menjijikkan, maka kita bisa bertanya, dari peradaban manakah si pendatang itu berasal?

Hal yang bisa ditarik dari “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” adalah “lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya”. Terjemahan dari ragam pepatah ini adalah pluralisme dan multikulturalisme, bahwa tiap-tiap identitas diakui memiliki perbedaan yang harus dihormati dan dijamin peluangnya untuk tumbuh dan berkembang.

Artinya, si bintang hiburan tersebut tentu saja tak bisa dipaksa untuk memakan makanan yang memang bukan makanan kesehariannya. Akan tetapi, pada saat yang sama, perbedaan itu bukan untuk dicibir dengan kata-kata atau mimik muka jijik. Upaya menampilkan mimik muka jijik atau risih mencerminkan bahwa mereka yang menjadi otak dari program ini sama sekali tak memahami kebudayaan dan Indonesia.

Hal serupa juga terjadi pada bintang hiburan yang menyorongkan tangan kirinya untuk memberi makan penduduk setempat. Dalam tradisi Indonesia pada umumnya, menggunakan tangan kiri untuk memberikan sesuatu, apalagi makanan, adalah hal yang tak layak.

Kritik terhadap “sodoran tangan kiri” untuk makan di tayangan Ethnic Runaway itu sejajar dengan tayangan pada saluran National Geographic Wild kala ke Madagaskar. Saat itu, karena sudah diberitahu sebelumnya, reporter National Geographic Wild tak meluruskan jari telunjuknya ketika menunjuk ke suatu arah, tetapi melipat rapat jari tersebut ke dalam. Sebab, di Madagaskar, menunjuk dengan jari telunjuk lurus dirasa sesuatu yang tak sopan.

Ada hal-hal yang kadang kala tak bisa ditanyakan seperti soal tangan dan jari di atas. Sama halnya ketika orang-orang di seluruh di Kepulauan Melayu merasa bingung kenapa mengacungkan jari tengah ke atas adalah tak sopan. Pun, orang-orang Barat akan keheranan kenapa ibu jari yang diselipkan diantara jari telunjuk dan jari tengah adalah hal yang tak dianjurkan di sini. Dan bagi orang Sunda, dianjurkan untuk memakai ibu jari, bukan jari telunjuk, dalam menunjukkan suatu arah.

Kelas Trans TV, dalam hal ini “Ethnic Runaway”, dengan National Geographic Wild atau BBC Knowledge memang berbeda jauh. Meski sama-sama memiliki program petualangan, tapi pengemasannya bak bumi dan langit. Yang satu merusak latar alamiah dengan segala macam tingkah berlebihan dari bintang hiburannya, yang lain tak merusak alamiah dan memberikan pengetahuan yang memadai (meski ada catatan serius juga terhadap National Geographic Wild atau BBC Knowledge pada beberapa tayangan, tetapi pola [template] pengemasannya tidak cengeng dan berlebihan).

Yang satu tak memberikan apa-apa selain tingkah polah bintang hiburan, yang lain memberikan wawasan sekaligus menghibur. Di penghujung tayangan, sebelum penduduk dihitamputihkan dalam sebuah kotak, “Ethnic Runaway” pun selalu memberikan nasihat-nasihat soal hidup, lengkap dengan kecintaan pada Indonesia. Bingung lagi? Ya.

Nasihat-nasihat itu umumnya berkisar pada kesederhanaan yang diikuti dengan gambar penduduk yang bergerak perlahan (slow motion), sebagai sesuatu yang penting sekaligus berarti dalam kehidupan si bintang hiburan. Pun tak ketinggalan berbagai petuah ihwal beban hidup yang menghadang dan sejenisnya.

Kemudian, bintang-bintang hiburan ini juga mencoba menumbuhkan kecintaan terhadap Indonesia, meski tak jelas siapa pihak atau orang yang hendak ditumbuhkan itu. Hanya saja, yang disebut upaya menumbuhkan kecintaan itu kerap kali tak memakai logika. Kiwil, misalnya, mendadak mengatakan bangga memiliki mereka (penduduk Suku Pongok) saat dirinya dan sejumlah penduduk menebar pukat ikan. Atau Ryana, setelah Stuart dengan tangan kirinya memaksa seorang penduduk untuk makan, tiba-tiba mengatakan bahwa walau berbeda, perasaan sebangsa dan setanah air tidak pernah bisa dibohongi.

Selain tidak ada runutan logisnya (jump to conclusion), dukungan (continuity) dari gambar pada pernyataan “merasa memiliki” atau “perasaan yang tak bisa dibohongi” itu juga tak ada. Padahal, jika kita menonton edisi petualangan dari National Geographic, National Geographic WildBBC Knowledge, atau Discovery Channel, berinteraksi dan tertawa bersama penduduk yang dikunjungi adalah hal biasa. Tapi, alih-alih menemukan nasihat atau nasionalisme semu, kita justru mendapatkan wawasan tanpa harus mengerutkan dahi.

Yang tak kalah menarik untuk diperhatikan adalah ketika pemuka adat Karampuang, yang oleh Stuart diajak mengadu gelas sebagai tanda kekompakkan laksana orang-orang Eropa, tak menggunakan bahasa Indonesia kala berinteraksi dengan bintang-bintang hiburan ini. Apa artinya? Sulit mempercayai mereka tak bisa berbahasa Indonesia. Tanah Sulawesi bukan baru setahun atau 66 tahun berinteraksi dengan bahasa Melayu, tetapi ratusan tahun. Apakah itu artinya adalah “kau dan aku berbeda dan kau harus menghormati nilai yang sebetulnya kau tak paham”?

Gerry Van Klinken, dalam buku Antara Daerah dan Negara (2011), pernah menulis bahwa pada saat Sukarno datang ke kawasan Kuala Kapuas (Kalimantan Tengah) pada 1957, pasukan Dayak mengadakan penyambutan dengan senjata lengkap. Akan tetapi, pada saat yang sama, sebetulnya ada dua perspektif yang muncul. Dalam perspektif Jakarta, pasukan Dayak itu sedang mempersembahkan kesetiaan pada suatu keseluruhan yang lebih besar. Sementara, bagi Dayak, itu adalah pernyataan tegas bahwa identitas mereka tak dapat disingkirkan lagi.

Apakah hal ini serupa? Apakah dalam benak ketua adat tadi adalah “kau tak mengerti kami dank kau sedang mendatangi tanah yang bukan tanahmu”? Dan apakah dalam benak stasiun televisi, identitasidentitas etnis itu adalah sesuatu di etalase kaca yang dapat dijadikan komoditas oleh perusahaan Jakarta bernama PT. Televisi Transformasi Indonesia?

Dimuat di Remotivi pada Oktober 2011

Leave a comment